Senin, 29 April 2013

Sosiologi dan Antropologi Pendidikan: Pengaruh Nilai dan Budaya dalam Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Perkembangan dunia pendidikan kita saat ini sangat begitu memprihatinkan. Kondisi ini telah mendorong munculnya pemikiran untuk melihat dan meninjau kembali kebijakan dalam sistem pendidikan yang ada saat ini. Pendidikan yang semula diharapkan dapat menghasilkan anak didik yang tidak hanya cerdas dan terlatih secara ketrampilan tapi juga memiliki kepribadian dan sikap yang luhur dari bangsa ini.
            Banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini, seperti kasus korupsi,  kekerasan, konflik, serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan semakin melemahkan potensi modal sosial bangsa ini. Salah satu faktor penyebabnya diyakini berasal dari sistem pendidikan kita yang ada saat ini. Ada yang salah dalam sistem pendidikan kita saat ini. Dunia pendidikan kita saat ini cendrung berorientasi pragmatis, dan hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja yang mensyaratkan keahlian dan skill tertentu. Sayangnya hal ini tidak diikuti secara konsisten dengan penanaman nilai-nilai luhur dan budi pekerti yang menjadi fondasi dari segalanya. Oleh karenanya wajar bila disebut bahwa, sistem pendidikan kita cendrung tidak memiliki karakter. Atas dasar inilah kemudian muncul wacana pentingnya melakukan penanaman nilai nilai sejarah dan budaya kepada siswa di sekolah untuk selanjutnya dimasukkan sebagai mata pelajaran ataupun kurikulum.
            Istilah warisan budaya, secara konseptual dapat ditelusuri dan diturunkan dari konsepsi tentang kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1986), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, manusia dengan belajar. Batasan konsep kebudayaan ini secara implisit mengungkap adanya 3 wujud kebudayaan yang tercakup di dalamnya, yakni: (1) konsep tentang nilai-nilai, ide atau gagasan atau budaya nonfisik (intangible); (2) konsep tentang tingkah laku; (3) konsep tentang hasil karya atau budaya fisik (tangible). Sedangkan Nilai Budaya adalah konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan mulia.
Dari defenisi kebudayaan di atas jelas bahwa konsep warisan dan nilai budaya tercakup di dalamnya, yang meliputi budaya fisik (tangible) dalam wujud hasil karya dan budaya nonfisik (intangible) berupa nilai, ide dan gagasan. Keduanya merupakan bagian yang sangat penting dan tak terpisahkan dalam sebuah konsep kebudayaan. Dengan demikian warisan budaya sesungguhnya adalah bagian integral dari kebudayaan itu sendiri. 

B. Rumusan Masalah
1. Apakan yang dimaksud dengan nilai-nilai budaya?
2. Bagaimanakah gambaran konflik dalam kebudayaan ideal versus kebudayaan
nyata?
3. Bagaimanakah gambaran konflik dalam nilai-nilai tradisional versus nilai-nilai
baru?
4. Apa saja aliran-alirang yang terdapat dalam nilai-nilai budaya dalam
pemikiran?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan pengertian nilai-nilai budaya dalam kehidupan.
2. Untuk mendeskripsikan bagaimana gambaran konflik-konflik yang terdapat
pada kebudayaan ideal versus kebudayaan nyata.
3.. untuk mendeskripsikan bagaimana konflik-konflik yang terdapat pada nilai
nilai tradisional versus nilai-nilai baru.
4. untuk menjelaskan aliran-aliran yang terdapar dalam nilai-nilai budaya.









BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Nilai-nilai Budaya
Nilai-nilai budaya adalah nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan pErilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
Kebudayaan adalah  sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Adapun nilai-nilai budaya yang berharga untuk diperjuangkan adalah
1.    Nilai Kejujuran
2.    Nilai Patriotisme
3.    Nilai Persaingan
4.    Nilai Harmonis dan Kerjasama
                              
B.  Nilai-Nilai Dan Kebudayaan
Nilai-nilai budaya sebuah kebudayaan adalah cita-cita yang tinggi yang harus diperjuangkan. Beberapa dari nilai tersebut sangat jelas seperti nilai kejujuran, sementara yang lain sukar untuk diungkapkan seperti kepercayaan akan nilai tertinggi harkat individu. Beberapa yang lain, seperti patriotism, selalu menjadi penghias bibir, sementara yang lain lagi seperti kepercayaan bahwa realitas dapat diukur jarang diakui.
Walaupun nilai-nilai budaya kita meresapi kehidupan kita nilai-nilai tersebut tidak membentuk kita jadi serupa. Karena satu hal perubahan kebudayaan jauh dari seimbang, karena itu nilai-nilai yang bertentangan ada dalam kebudayaan yang sama, nilai-nilai yang berbeda-beda dianut individu yang berbeda. Kelomok-kelompok social berbeda dalam nilai-nilai tertentu, dan terutama dalam masyarakat majemuk, seorang individu dihadapkan kepada sejumlah besar nilai-nilai yang berbeda. Selanjutnya pengalaman pribadi masing-masing meninggalkan kesan-kesan uniknya pada kesan-kesan uniknya pada nilai-nilai budaya sebagaimana dia memandangnya.
Umumnya orang menemui kesulitan melihat nilai-nilainya secara objektif. Semasa kanak-kanak mereka belajar melihat nilai-nilai tersebut secara universal dan absolute, dan karena itu nilai-nilai tersebut tidak dapat dikompromikan sebab anak-anak tidak mengerti bahwa sesuatu itu bagus kecuali kalau ia dibimbing untuk mempercayai nilai-nilai tersebut bagus untuk semua orang di manapun. Misalnya gagasan bahwa tindakan-tindakan tertentu seperti berdusta mungkin dianggap salah secara umum, tetapi dibenarkan pada kesempatan tertentu itu adalah begitu sukar untuk dipahami oleh seorang anak berumur 10 tahun.

C.  Kebudayaan Ideal Versus Kebudayaan Nyata
Konflik dalam kebudayaan . Karena tidak ada satu kebudayaan yang
terintegrasi secara umum, kebudayaan ideal pasti akan berbeda dari praktek-prakteknya. Setiap kebudayaan  mengesahkan bagi anggota-anggotanya cita-cita tertentu dan norma-norma tertentu (cara berperilaku) untuk mencapainya. Norma-norma ini tidak perlu yang paling efisien, baik bagi individu atau bagi kelompok-kelompok. Misalnya saja banyak budaya yang melarang penggunaan kekerasan atau kecurangan untuk mencapai tujuan-tujuan mereka tetapi mereka cocok dengan nilai-nilai yang ada dan institusi yang ada dalam kebudayaan tersebut. Norma-norma ini juga berbeda dalam beban yang mereka angkat, karena norma-norma tersebut mungkin bersifat mewajibkan, lebih menyukai atau hanya mengizinkan.
            Namun, karena sebuah kebudayaan telah mengesahkan norma-norma tertentu, hal tersebut tidaklah berarti bahwa norma-norma tersebut selalu dipenuhi. Makin kurang efisien norma-norma menjadi alat untuk mencapai tujuan-tujuan budaya, ada kecenderungan makin berkurang.

            Konflik dalam pendidikan. Setiap sekolah dalam menyampaikan dan memperluas nilai-nilai dari kebudayaan mempunyai berbagai cara yang berbeda. Meskipun orang-orang sekolahan  berbeda-beda dalam banyak hal, walaupun begitu mereka mencerminkan nilai-nilai tertentu, seperti pentingnya orang, pentingnya otoritas orang dewasa, perlunya tertib dan disiplin, nilai pengetahuan dan keberhasilan pendidikan, dan cirri-ciri kelas menengah seperti kerapian, kesopanan, berbicara betul, dan hormat. Nilai-nilai budaya seharusnya dimanifestasikan dalam kurikulum sekolah. Pelajaran kewarhanegaraan menyampaikan nilai-nilai dari demokrasi terbuka, nilai-nilai kolektif, dan memungkinkan memperbaiki nasib manusia. Pelajaran-pelajaran sejarah cenderung untuk menggambarkan kebudayaan.
            Aktivitas sekolah dan organisasinya juga menyampaikan nilai-nilai. Dalam kelas, anak belajar tepat waktu, menulis bagus, memakai kertas dengan cermat, dan tenang waktu, menulis dengan baik. Mengangkat tangan waktu akan mengajukan saran dan menjawab pertanyaan dan dorongan untuk bersaing dan menjadi lebih dari yang lain. Dalam permainan dia belajar bermain fair dan mengerkjakan sesuatu secara bergantian. Dalam perkumpulan-perkumpulan ia belajar menjadi pemimpin. Dari perayaan sekolah ia memperoleh perasaan loyalitas terhadap sekolahnya dan solidaritas terhadap teman sesama sekolah.Walaupun demikian terlihat dengan nilai-nilai begitu tidak menjamin bahwa dia menyerap nilai-nilai ini sebagai nilainya sendiri, factor-faktor lain menyela, seperti norma khusus kelompok sama besar, berkurang kepopuleran guru-guru tertentu, barang kali kelesuan orang tua terhadap pendidikannya.
            Menurut etos demokrasi, orang harus bekerja sama menyelesaikan suatu pekerjaan, tetapi dalam banyak hal dalam masyarakat orang-orang bersaingan. Karena itu, sekolah terombang-ambing antara mendorong anak-anak untuk bekerja sama dengan mendorong bersaing dan tidak mngambil posisi yang tegas bagi salah satu nilai. Ada juga ketimpangan antara kepercayaan bahwa pendidikan harus membebaskan pikiran anak-anak, tidak menjadi soal latar belakangnya dan pernyataan bahwa perguruan tinggi sangat selektif dalam menerima mahasiswa baru. Karena itu sekolah harus memilih antara pendidikan untuk perkembangan intelektual, dan pendidikan untuk perserasian bagi sekolah lebih lanjut.

D.  Nilai-Nilai Tradisional Versus Nilai-Nilai Baru
Konflik dalam kebudayaan. Ketika kebudayaan berubah dari misalnya
kebudayaan pertanian ke kebudayaan industry, sebagian atau semua nilai-nilainya akan berubah atau akan ditafsirkan kembali walaupun tidak semua atau segera. Untuk menyiapkan pertumbuhannya, perusahaan harus terus membujuk orang-orang untuk mengkonsumsi barang yang tidak penting dalam jumlah yang lebih besar. Sebagai hasilnya pembelian dengan mencicil mengalahkan kehematan. Sexualitas pada suatu masa merupakan contoh nyata, sekarang semakin dipengaruhi terus dengan gaya berpakaian reklame dan hiburan masa. Kepercayaan akan pentingnya masa depan member jalan kepada pandangan bahwa yang sekarang harus dinikmati, karena masa depan itu tidak pasti. Kepercayaan atas diri sendiri memeberikan tempatnya kepada kecintaan pada kelompok.
            Beberapa kritik menolak bahwa inti dari system nilai Amerika telah berubah sama sekali. Inti tersebut ialah kepercayaan bahwa seseorang harus bercita-cita terhadap jenis-jenis sukses yang menguntungkan masyarakatnya. Sekarang orang masih diharapkan untuk bekerja keras dan tidak berhenti sampai dia menjadi sukses. Yang sudah berubah adalah tujuan-tujuan khusus yang akan dicapai dan cara-cara untik mencapainya. Awalnya tujuannya adalah keuntungan moneter dengan melakukan investasi, dan tipenya adalah interpreneur. Sekarang cita /arahnya adalah kompetensi yang tinggi dalam sebuah peran yang dicapai dengan melaksanakan tugas secara bertanggung jawab untuk mendapatkan pengakuan. Tipe itu adalah lentir, yaitu eksekutif yang berpandangan.

Konflik dalam pendidikan. Konflik antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai baru seringkali menampakkan diri dalam perbedaan antara efek yang diingini guru, barangkali yang difikirkan telah ada dan efek yang sebenarnya dia peroleh. Dalam pandangan Spindler, pendidik-pendidik cenderung pada umumnya kurang tradisional dalam nilai-nilai mereka dibandingkan dengan rakyat umum. Guru-guru muda terutama cenderung kepada nilai-nilai baru, sesudah itu diikuti oleh guru-guru yang lebih tua dan kemudian para administrator. Dewan sekolah cenderung merupakan yang paling konservatif, karena mereka umumnya terdiri dari oaring-orang tua dalam masyarakt yang telah berhasil dalam hidup dank arena itu cenderung untuk menyokong nilai-nilai yang telah matang. Jika nilai-nilai tradisional anak-anak cenderung kurang kuat menganut nilai-nilai tradisional dibandingkan orang tua mereka, jika nilai mereka baru, maka anak-anak menganut nilai-nilai baru lebih dalam lagi. Sebaliknya, anak-anak mungkin juga mengambil nilai-nilai tradisional atau baru secara ekstrim sebagai bagian pemberontakan terhadap orang tua mereka atau orang dewasa pada umumnya.
            Setelah mengalami dan sampai batas tertentu, mencernakan konflik-konflik budaya ini, guru-guru sebagai penyampai kebudayaan, cenderung untuk menyampaikan kepada siswa-siswa mereka, itu akan menghalangi atau mengaburkan tujuan-tujuan yang diharapkan dari pendidikan. Biasanya mereka tidak menyampaikan konflik-konflik ini secara langsung tapi menggambarkan secara tidak sadar keadaan kebudayaan masa kini. Konflik-konflik ini meresapi seluruh budaya pendidikan, paling jelas dalam desain kurikulum, dalam metode mengajar, dalam buku teks dan alat pengajaran, dan hubungan guru murid, dan dalam pendidikan professional guru-guru.
            Beralih kepada prosedur ruangan kelas, kita temukan banyak guru guru mencoba untuk menyampaikan warisan budaya dengan metode yang serba membolehkan yang menghasilkan tingkat kebebasan berbeda dengan perhatian yang penuh yang diminta guru jika mereka ingin menyampaikan warisan budaya secara efektif. Yules Henry misalnya yang menggambarkan guru-guru sekolah dasar, mereka secara tidak sadar menyampaikan gejala budaya tentang “agresi dalam kelompok”. Disini kelompok menyerang anggota kelompoknya sendiri yang tidak menolak agresi ini dengan sikap seorang “inner directed” individualis melainkan belajar hidup dengan cara tersebut. Dia menyebutkan seorang guru kelas lima yang memusatkan perhatian selama satu saat untuk mendengarkan laopran-laporan pendek yang anggota-anggota kelas diminta untuk mengkritik. Maksud guru dalam kegiatan ini adalah mengembangkan keterampilanmengarang dan melaporkan sesuatu dan dengan anggapan, menolong siswa-siswa belajar dari kritik. Walaupun begitu kenyataannya tidak ada kritik yang konstruktif yang muncul, guru juga tidak mencari kritik yang demikian. Hasilnya, berlawanan dengan maksud guru, anak-anak terlibat dalam saling mengkritik kerja mereka yang bersifat distruktif dan kebiasaan agresi dalam kelompok yang sebagian telah dicernakan dari budaya diperkuat di dalam kelas. Selanjutnya dalam hubungan mereka dengan siswa-siswa banyak guru-guru berusaha sebagai pemimpin dan pembimbing, tetapi untuk bisa melakukan hal tersebut, mereka sering berusaha menyenangkan siswa-siswa sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat lagi memelihara disiplin.
            Sebuah kebiasaan mewarisi, nilai-nilai tradisional kelas menengah atau kelas menengah ke bawah, calon guru-guru memasuki sub budaya lembaga pendidikan guru yang nilai-nilainya biasanya baru, lembaga-lembaga ini cenderung untuk menganggap anak-anak didik untuk bekerja dan bermain secara harmonis dengan anggota-anggota lain dari kelompok, seringkali dengan merugikan perkembangan individual. Dengan demikian calon-calon guru ini berada dalam posisi sama dengan orang yang sedang dialkulturasi yang harus mengatasi konflik antara kebudayaan sendiri dengan kebudayaan baru yang makin lama makin disetujui.
            Guru mungkin akan bereaksi dengan berbagai cara jika ia merasa terancam oleh nilai-nilai baru, dia mungkin akan mempertegas nilai-nilai tradisional secara tajam dan memproyeksikan secara tanpa kompromi di dalam kelas. Dia juga mungkin melakukan kompensasi yang berlebihan kea rah berlawanan dengan menerima nilai-nilai baru secara tidak kritis dan mengejar keharmonisan kelompok dengan sekuat-kuatnya. Jika ia tidak punya waktu untuk melakukan instropeksi, ia mungkin mencernakan kedua sisi yang bertentangan secara tidak sadar tanpa mensintesakan mereka ke dalam pola nilainya sendiri yang konsisten. Dalam kasus yang belakangan ini dia akan terombang-ambing antara berbagai metode penguasaan kelompok, dan individu-individu melalui ketidak konsistenan, akan menyusahkan dirinya sendiri dan juga murid-muridnya. Akhirnya kalau ia cukup berfikir dan stabil, dia mungkin mengakui adanya konflik, tetapi merasa tidak terancam oleh konflik-konflik tersebut, dalam hal ini dia akan mensintesa elemen-elemen kedua pola ini menjadi sebuah system yang koheren miliknya sendiri. Dalam kelas dia akan mengikuti jalan tengah antara individualism ekstrim dan kolektivisme ekstrim. Spindler percaya bahwa guru tipe ini mungkin .bertambah banyak, tetapi sayangnya masih merupakan minoritas.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari pembahasan diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa nilai-nilai budaya sebuah kebudayaan adalah cita-cita yang tinggi yang harus diperjuangkan. Beberapa dari nilai tersebut sangat jelas seperti nilai kejujuran, sementara yang lain sukar untuk diungkapkan seperti kepercayaan akan nilai tertinggi harkat individu. Untuk memperkokoh itu semua aspek nilai-nilai budaya harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan.
            Walaupun nilai-nilai budaya kita meresapi kehidupan kita nilai-nilai tersebut tidak membentuk kita jadi serupa. Karena satu hal perubahan kebudayaan jauh dari seimbang, karena itu nilai-nilai yang bertentangan ada dalam kebudayaan yang sama, nilai-nilai yang berbeda-beda dianut individu yang berbeda. Kelomok-kelompok social berbeda dalam nilai-nilai tertentu, dan terutama dalam masyarakat majemuk, seorang individu dihadapkan kepada sejumlah besar nilai-nilai yang berbeda

Saran
            Dari pembahasan diatas kita sebagi calon-calon pendidik harus memberikan perhatian tentang hal tersebut. Jika hal ini tidak tercapai dengan baik, maka nilai-nilai budaya yang selama ini sudah terdapat dalam masyarakat akan sedikit demi sedikit terkikis. Agar hal ini tidak terjadi maka sebagai pendidik wajib memberikan sumbangsih dengan nilai-nilai kebudayaan.











DAFTAR RUJUKAN

Munandar, Aras. 2011. Sosioantropologi Pendidikan (Pendidikan dan Nilai-Nilai Budaya) (http://arasmunandar.wordpress.com/sosioantropologi-pendidikan-pendidikan-dan-nilai-nilai-budaya/. Diakses 16 September 2012)

Suhantoro, Edy. 2012. Pentingnya Penanaman Nilai-nilai Budaya dalam Dunia Pendidikan. (http://www.analisadaily.com/news/read/2012/07/31/65998/pentingnya_penanaman nilainilai_budaya_dalam_dunia_pendidikan/, diakses 16 September 2012)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar