BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan
dunia pendidikan kita saat ini sangat begitu memprihatinkan. Kondisi ini telah
mendorong munculnya pemikiran untuk melihat dan meninjau kembali kebijakan
dalam sistem pendidikan yang ada saat ini. Pendidikan yang semula diharapkan
dapat menghasilkan anak didik yang tidak hanya cerdas dan terlatih secara
ketrampilan tapi juga memiliki kepribadian dan sikap yang luhur dari bangsa
ini.
Banyaknya
permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini, seperti kasus korupsi, kekerasan, konflik, serta penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan semakin melemahkan potensi modal sosial bangsa ini.
Salah satu faktor penyebabnya diyakini berasal dari sistem pendidikan kita yang
ada saat ini. Ada yang salah dalam sistem pendidikan kita saat ini. Dunia
pendidikan kita saat ini cendrung berorientasi pragmatis, dan hanya untuk
memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja yang mensyaratkan keahlian dan skill
tertentu. Sayangnya hal ini tidak diikuti secara konsisten dengan penanaman
nilai-nilai luhur dan budi pekerti yang menjadi fondasi dari segalanya. Oleh
karenanya wajar bila disebut bahwa, sistem pendidikan kita cendrung tidak
memiliki karakter. Atas dasar inilah kemudian muncul wacana pentingnya
melakukan penanaman nilai nilai sejarah dan budaya kepada siswa di sekolah
untuk selanjutnya dimasukkan sebagai mata pelajaran ataupun kurikulum.
Istilah warisan budaya, secara konseptual dapat ditelusuri dan diturunkan dari konsepsi tentang kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1986), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, manusia dengan belajar. Batasan konsep kebudayaan ini secara implisit mengungkap adanya 3 wujud kebudayaan yang tercakup di dalamnya, yakni: (1) konsep tentang nilai-nilai, ide atau gagasan atau budaya nonfisik (intangible); (2) konsep tentang tingkah laku; (3) konsep tentang hasil karya atau budaya fisik (tangible). Sedangkan Nilai Budaya adalah konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan mulia.
Dari defenisi kebudayaan di atas jelas bahwa konsep warisan dan nilai budaya tercakup di dalamnya, yang meliputi budaya fisik (tangible) dalam wujud hasil karya dan budaya nonfisik (intangible) berupa nilai, ide dan gagasan. Keduanya merupakan bagian yang sangat penting dan tak terpisahkan dalam sebuah konsep kebudayaan. Dengan demikian warisan budaya sesungguhnya adalah bagian integral dari kebudayaan itu sendiri.
Istilah warisan budaya, secara konseptual dapat ditelusuri dan diturunkan dari konsepsi tentang kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1986), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, manusia dengan belajar. Batasan konsep kebudayaan ini secara implisit mengungkap adanya 3 wujud kebudayaan yang tercakup di dalamnya, yakni: (1) konsep tentang nilai-nilai, ide atau gagasan atau budaya nonfisik (intangible); (2) konsep tentang tingkah laku; (3) konsep tentang hasil karya atau budaya fisik (tangible). Sedangkan Nilai Budaya adalah konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan mulia.
Dari defenisi kebudayaan di atas jelas bahwa konsep warisan dan nilai budaya tercakup di dalamnya, yang meliputi budaya fisik (tangible) dalam wujud hasil karya dan budaya nonfisik (intangible) berupa nilai, ide dan gagasan. Keduanya merupakan bagian yang sangat penting dan tak terpisahkan dalam sebuah konsep kebudayaan. Dengan demikian warisan budaya sesungguhnya adalah bagian integral dari kebudayaan itu sendiri.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakan yang dimaksud dengan nilai-nilai budaya?
2. Bagaimanakah gambaran konflik dalam kebudayaan
ideal versus kebudayaan
nyata?
3. Bagaimanakah gambaran konflik dalam nilai-nilai tradisional
versus nilai-nilai
baru?
4. Apa saja aliran-alirang yang terdapat dalam
nilai-nilai budaya dalam
pemikiran?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk menjelaskan pengertian nilai-nilai budaya
dalam kehidupan.
2. Untuk mendeskripsikan bagaimana gambaran
konflik-konflik yang terdapat
pada
kebudayaan ideal versus kebudayaan nyata.
3.. untuk mendeskripsikan bagaimana konflik-konflik
yang terdapat pada nilai
nilai tradisional versus
nilai-nilai baru.
4. untuk menjelaskan aliran-aliran yang terdapar
dalam nilai-nilai budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nilai-nilai Budaya
Nilai-nilai budaya adalah nilai-
nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi,
lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe),
simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan
lainnya sebagai acuan pErilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau
sedang terjadi.
Kebudayaan
adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Adapun
nilai-nilai budaya yang berharga untuk diperjuangkan adalah
1. Nilai Kejujuran
2. Nilai Patriotisme
3. Nilai Persaingan
4. Nilai Harmonis dan Kerjasama
B.
Nilai-Nilai
Dan Kebudayaan
Nilai-nilai budaya
sebuah kebudayaan adalah cita-cita yang tinggi yang harus diperjuangkan. Beberapa
dari nilai tersebut sangat jelas seperti nilai kejujuran, sementara yang lain
sukar untuk diungkapkan seperti kepercayaan akan nilai tertinggi harkat
individu. Beberapa yang lain, seperti patriotism, selalu menjadi penghias
bibir, sementara yang lain lagi seperti kepercayaan bahwa realitas dapat diukur
jarang diakui.
Walaupun nilai-nilai
budaya kita meresapi kehidupan kita nilai-nilai tersebut tidak membentuk kita
jadi serupa. Karena satu hal perubahan kebudayaan jauh dari seimbang, karena
itu nilai-nilai yang bertentangan ada dalam kebudayaan yang sama, nilai-nilai
yang berbeda-beda dianut individu yang berbeda. Kelomok-kelompok social berbeda
dalam nilai-nilai tertentu, dan terutama dalam masyarakat majemuk, seorang
individu dihadapkan kepada sejumlah besar nilai-nilai yang berbeda. Selanjutnya
pengalaman pribadi masing-masing meninggalkan kesan-kesan uniknya pada
kesan-kesan uniknya pada nilai-nilai budaya sebagaimana dia memandangnya.
Umumnya orang menemui
kesulitan melihat nilai-nilainya secara objektif. Semasa kanak-kanak mereka
belajar melihat nilai-nilai tersebut secara universal dan absolute, dan karena
itu nilai-nilai tersebut tidak dapat dikompromikan sebab anak-anak tidak
mengerti bahwa sesuatu itu bagus kecuali kalau ia dibimbing untuk mempercayai
nilai-nilai tersebut bagus untuk semua orang di manapun. Misalnya gagasan bahwa
tindakan-tindakan tertentu seperti berdusta mungkin dianggap salah secara umum,
tetapi dibenarkan pada kesempatan tertentu itu adalah begitu sukar untuk
dipahami oleh seorang anak berumur 10 tahun.
C.
Kebudayaan
Ideal Versus Kebudayaan Nyata
Konflik dalam kebudayaan
. Karena tidak ada satu kebudayaan yang
terintegrasi secara
umum, kebudayaan ideal pasti akan berbeda dari praktek-prakteknya. Setiap
kebudayaan mengesahkan bagi
anggota-anggotanya cita-cita tertentu dan norma-norma tertentu (cara
berperilaku) untuk mencapainya. Norma-norma ini tidak perlu yang paling
efisien, baik bagi individu atau bagi kelompok-kelompok. Misalnya saja banyak
budaya yang melarang penggunaan kekerasan atau kecurangan untuk mencapai
tujuan-tujuan mereka tetapi mereka cocok dengan nilai-nilai yang ada dan
institusi yang ada dalam kebudayaan tersebut. Norma-norma ini juga berbeda
dalam beban yang mereka angkat, karena norma-norma tersebut mungkin bersifat
mewajibkan, lebih menyukai atau hanya mengizinkan.
Namun, karena sebuah kebudayaan telah mengesahkan
norma-norma tertentu, hal tersebut tidaklah berarti bahwa norma-norma tersebut
selalu dipenuhi. Makin kurang efisien norma-norma menjadi alat untuk mencapai
tujuan-tujuan budaya, ada kecenderungan makin berkurang.
Konflik dalam
pendidikan. Setiap sekolah dalam menyampaikan dan memperluas nilai-nilai
dari kebudayaan mempunyai berbagai cara yang berbeda. Meskipun orang-orang
sekolahan berbeda-beda dalam banyak hal,
walaupun begitu mereka mencerminkan nilai-nilai tertentu, seperti pentingnya
orang, pentingnya otoritas orang dewasa, perlunya tertib dan disiplin, nilai
pengetahuan dan keberhasilan pendidikan, dan cirri-ciri kelas menengah seperti
kerapian, kesopanan, berbicara betul, dan hormat. Nilai-nilai budaya seharusnya
dimanifestasikan dalam kurikulum sekolah. Pelajaran kewarhanegaraan
menyampaikan nilai-nilai dari demokrasi terbuka, nilai-nilai kolektif, dan
memungkinkan memperbaiki nasib manusia. Pelajaran-pelajaran sejarah cenderung
untuk menggambarkan kebudayaan.
Aktivitas sekolah dan organisasinya juga menyampaikan
nilai-nilai. Dalam kelas, anak belajar tepat waktu, menulis bagus, memakai
kertas dengan cermat, dan tenang waktu, menulis dengan baik. Mengangkat tangan
waktu akan mengajukan saran dan menjawab pertanyaan dan dorongan untuk bersaing
dan menjadi lebih dari yang lain. Dalam permainan dia belajar bermain fair dan
mengerkjakan sesuatu secara bergantian. Dalam perkumpulan-perkumpulan ia
belajar menjadi pemimpin. Dari perayaan sekolah ia memperoleh perasaan
loyalitas terhadap sekolahnya dan solidaritas terhadap teman sesama
sekolah.Walaupun demikian terlihat dengan nilai-nilai begitu tidak menjamin
bahwa dia menyerap nilai-nilai ini sebagai nilainya sendiri, factor-faktor lain
menyela, seperti norma khusus kelompok sama besar, berkurang kepopuleran
guru-guru tertentu, barang kali kelesuan orang tua terhadap pendidikannya.
Menurut etos demokrasi, orang harus bekerja sama
menyelesaikan suatu pekerjaan, tetapi dalam banyak hal dalam masyarakat
orang-orang bersaingan. Karena itu, sekolah terombang-ambing antara mendorong
anak-anak untuk bekerja sama dengan mendorong bersaing dan tidak mngambil
posisi yang tegas bagi salah satu nilai. Ada juga ketimpangan antara
kepercayaan bahwa pendidikan harus membebaskan pikiran anak-anak, tidak menjadi
soal latar belakangnya dan pernyataan bahwa perguruan tinggi sangat selektif
dalam menerima mahasiswa baru. Karena itu sekolah harus memilih antara
pendidikan untuk perkembangan intelektual, dan pendidikan untuk perserasian
bagi sekolah lebih lanjut.
D.
Nilai-Nilai
Tradisional Versus Nilai-Nilai Baru
Konflik dalam kebudayaan. Ketika
kebudayaan berubah dari misalnya
kebudayaan pertanian ke
kebudayaan industry, sebagian atau semua nilai-nilainya akan berubah atau akan
ditafsirkan kembali walaupun tidak semua atau segera. Untuk menyiapkan
pertumbuhannya, perusahaan harus terus membujuk orang-orang untuk mengkonsumsi
barang yang tidak penting dalam jumlah yang lebih besar. Sebagai hasilnya
pembelian dengan mencicil mengalahkan kehematan. Sexualitas pada suatu masa
merupakan contoh nyata, sekarang semakin dipengaruhi terus dengan gaya
berpakaian reklame dan hiburan masa. Kepercayaan akan pentingnya masa depan
member jalan kepada pandangan bahwa yang sekarang harus dinikmati, karena masa
depan itu tidak pasti. Kepercayaan atas diri sendiri memeberikan tempatnya
kepada kecintaan pada kelompok.
Beberapa kritik menolak bahwa inti dari system nilai
Amerika telah berubah sama sekali. Inti tersebut ialah kepercayaan bahwa
seseorang harus bercita-cita terhadap jenis-jenis sukses yang menguntungkan
masyarakatnya. Sekarang orang masih diharapkan untuk bekerja keras dan tidak
berhenti sampai dia menjadi sukses. Yang sudah berubah adalah tujuan-tujuan
khusus yang akan dicapai dan cara-cara untik mencapainya. Awalnya tujuannya
adalah keuntungan moneter dengan melakukan investasi, dan tipenya adalah
interpreneur. Sekarang cita /arahnya adalah kompetensi yang tinggi dalam sebuah
peran yang dicapai dengan melaksanakan tugas secara bertanggung jawab untuk
mendapatkan pengakuan. Tipe itu adalah lentir, yaitu eksekutif yang
berpandangan.
Konflik dalam pendidikan.
Konflik antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai baru seringkali
menampakkan diri dalam perbedaan antara efek yang diingini guru, barangkali
yang difikirkan telah ada dan efek yang sebenarnya dia peroleh. Dalam pandangan
Spindler, pendidik-pendidik cenderung pada umumnya kurang tradisional dalam nilai-nilai
mereka dibandingkan dengan rakyat umum. Guru-guru muda terutama cenderung
kepada nilai-nilai baru, sesudah itu diikuti oleh guru-guru yang lebih tua dan
kemudian para administrator. Dewan sekolah cenderung merupakan yang paling
konservatif, karena mereka umumnya terdiri dari oaring-orang tua dalam
masyarakt yang telah berhasil dalam hidup dank arena itu cenderung untuk
menyokong nilai-nilai yang telah matang. Jika nilai-nilai tradisional anak-anak
cenderung kurang kuat menganut nilai-nilai tradisional dibandingkan orang tua
mereka, jika nilai mereka baru, maka anak-anak menganut nilai-nilai baru lebih
dalam lagi. Sebaliknya, anak-anak mungkin juga mengambil nilai-nilai
tradisional atau baru secara ekstrim sebagai bagian pemberontakan terhadap orang
tua mereka atau orang dewasa pada umumnya.
Setelah
mengalami dan sampai batas tertentu, mencernakan konflik-konflik budaya ini,
guru-guru sebagai penyampai kebudayaan, cenderung untuk menyampaikan kepada
siswa-siswa mereka, itu akan menghalangi atau mengaburkan tujuan-tujuan yang
diharapkan dari pendidikan. Biasanya mereka tidak menyampaikan konflik-konflik
ini secara langsung tapi menggambarkan secara tidak sadar keadaan kebudayaan
masa kini. Konflik-konflik ini meresapi seluruh budaya pendidikan, paling jelas
dalam desain kurikulum, dalam metode mengajar, dalam buku teks dan alat
pengajaran, dan hubungan guru murid, dan dalam pendidikan professional
guru-guru.
Beralih
kepada prosedur ruangan kelas, kita temukan banyak guru guru mencoba untuk
menyampaikan warisan budaya dengan metode yang serba membolehkan yang
menghasilkan tingkat kebebasan berbeda dengan perhatian yang penuh yang diminta
guru jika mereka ingin menyampaikan warisan budaya secara efektif. Yules Henry
misalnya yang menggambarkan guru-guru sekolah dasar, mereka secara tidak sadar
menyampaikan gejala budaya tentang “agresi dalam kelompok”. Disini kelompok
menyerang anggota kelompoknya sendiri yang tidak menolak agresi ini dengan
sikap seorang “inner directed” individualis melainkan belajar hidup dengan cara
tersebut. Dia menyebutkan seorang guru kelas lima yang memusatkan perhatian
selama satu saat untuk mendengarkan laopran-laporan pendek yang anggota-anggota
kelas diminta untuk mengkritik. Maksud guru dalam kegiatan ini adalah
mengembangkan keterampilanmengarang dan melaporkan sesuatu dan dengan anggapan,
menolong siswa-siswa belajar dari kritik. Walaupun begitu kenyataannya tidak
ada kritik yang konstruktif yang muncul, guru juga tidak mencari kritik yang
demikian. Hasilnya, berlawanan dengan maksud guru, anak-anak terlibat dalam
saling mengkritik kerja mereka yang bersifat distruktif dan kebiasaan agresi
dalam kelompok yang sebagian telah dicernakan dari budaya diperkuat di dalam
kelas. Selanjutnya dalam hubungan mereka dengan siswa-siswa banyak guru-guru
berusaha sebagai pemimpin dan pembimbing, tetapi untuk bisa melakukan hal
tersebut, mereka sering berusaha menyenangkan siswa-siswa sedemikian rupa
sehingga mereka tidak dapat lagi memelihara disiplin.
Sebuah
kebiasaan mewarisi, nilai-nilai tradisional kelas menengah atau kelas menengah
ke bawah, calon guru-guru memasuki sub budaya lembaga pendidikan guru yang
nilai-nilainya biasanya baru, lembaga-lembaga ini cenderung untuk menganggap
anak-anak didik untuk bekerja dan bermain secara harmonis dengan
anggota-anggota lain dari kelompok, seringkali dengan merugikan perkembangan
individual. Dengan demikian calon-calon guru ini berada dalam posisi sama
dengan orang yang sedang dialkulturasi yang harus mengatasi konflik antara
kebudayaan sendiri dengan kebudayaan baru yang makin lama makin disetujui.
Guru
mungkin akan bereaksi dengan berbagai cara jika ia merasa terancam oleh
nilai-nilai baru, dia mungkin akan mempertegas nilai-nilai tradisional secara
tajam dan memproyeksikan secara tanpa kompromi di dalam kelas. Dia juga mungkin
melakukan kompensasi yang berlebihan kea rah berlawanan dengan menerima
nilai-nilai baru secara tidak kritis dan mengejar keharmonisan kelompok dengan
sekuat-kuatnya. Jika ia tidak punya waktu untuk melakukan instropeksi, ia
mungkin mencernakan kedua sisi yang bertentangan secara tidak sadar tanpa
mensintesakan mereka ke dalam pola nilainya sendiri yang konsisten. Dalam kasus
yang belakangan ini dia akan terombang-ambing antara berbagai metode penguasaan
kelompok, dan individu-individu melalui ketidak konsistenan, akan menyusahkan
dirinya sendiri dan juga murid-muridnya. Akhirnya kalau ia cukup berfikir dan
stabil, dia mungkin mengakui adanya konflik, tetapi merasa tidak terancam oleh
konflik-konflik tersebut, dalam hal ini dia akan mensintesa elemen-elemen kedua
pola ini menjadi sebuah system yang koheren miliknya sendiri. Dalam kelas dia
akan mengikuti jalan tengah antara individualism ekstrim dan kolektivisme
ekstrim. Spindler percaya bahwa guru tipe ini mungkin .bertambah banyak, tetapi
sayangnya masih merupakan minoritas.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa nilai-nilai budaya
sebuah kebudayaan adalah cita-cita yang tinggi yang harus diperjuangkan.
Beberapa dari nilai tersebut sangat jelas seperti nilai kejujuran, sementara
yang lain sukar untuk diungkapkan seperti kepercayaan akan nilai tertinggi
harkat individu. Untuk memperkokoh itu semua aspek nilai-nilai budaya harus
diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan.
Walaupun
nilai-nilai budaya kita meresapi kehidupan kita nilai-nilai tersebut tidak
membentuk kita jadi serupa. Karena satu hal perubahan kebudayaan jauh dari
seimbang, karena itu nilai-nilai yang bertentangan ada dalam kebudayaan yang
sama, nilai-nilai yang berbeda-beda dianut individu yang berbeda.
Kelomok-kelompok social berbeda dalam nilai-nilai tertentu, dan terutama dalam
masyarakat majemuk, seorang individu dihadapkan kepada sejumlah besar
nilai-nilai yang berbeda
Saran
Dari
pembahasan diatas kita sebagi calon-calon pendidik harus memberikan perhatian
tentang hal tersebut. Jika hal ini tidak tercapai dengan baik, maka nilai-nilai
budaya yang selama ini sudah terdapat dalam masyarakat akan sedikit demi
sedikit terkikis. Agar hal ini tidak terjadi maka sebagai pendidik wajib
memberikan sumbangsih dengan nilai-nilai kebudayaan.
DAFTAR
RUJUKAN
Munandar,
Aras. 2011. Sosioantropologi Pendidikan
(Pendidikan dan Nilai-Nilai Budaya) (http://arasmunandar.wordpress.com/sosioantropologi-pendidikan-pendidikan-dan-nilai-nilai-budaya/.
Diakses 16 September 2012)
Suhantoro,
Edy. 2012. Pentingnya Penanaman
Nilai-nilai Budaya dalam Dunia Pendidikan. (http://www.analisadaily.com/news/read/2012/07/31/65998/pentingnya_penanaman
nilainilai_budaya_dalam_dunia_pendidikan/,
diakses 16 September 2012)
(http://poltek.ubaya.ac.id/2012/05/pendidikan-nilai-tidak-lepas-dari-nilai-budaya/,
diakses 16 September 2012)
(http://www.analisadaily.com/news/read/2012/07/31/65998/pentingnya_penanaman
nilainilai_budaya_dalam_dunia_pendidikan/,
diakses 16 September 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar