BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS), dinyatakan bahwa ada tiga tantangan besar
dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu (1) mempertahankan hasil-hasil
pembangunan pendidikan yang telah dicapai; (2) mempersiapkan sumber daya
manusia yang kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global; dan (3)
sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional
dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan
proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman,
memperhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan
partisipasi masyarakat.
Kebijakan adalah aturan tertulis yang
merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur
prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat.
Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota
masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat
problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan
(Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun
kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan
juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang
spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi
spesifik yang ada.
Fungsi dari kebijakan sendiri adalah
kebijakan dipandang sebagai: (1) pedoman untuk bertindak, (2) pembatas prilaku,
dan (3) bantuan bagi pengambil keputusan (Pongtuluran, 1995:7). Maka kebijakan
dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam
organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kebijakan dibuat dengan makna untuk
menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi
pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, Di era otonomi daerah kebijakan strategis
yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1)
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management),
(2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based
education), (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning
paradigma, (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad
Base Education System (BBE)
Proses implementasi kebijakan hanya
dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat
umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah
dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa saja yang termaksud dalam
Lingkungan kebijakan Pendidikan ?
2.
Apakah peran lingkungan tersebut dalam mengambil sebuah kebijakan
pendidikan?
3.
Siapakah dan apa peran aktor perumusan kebijakan pendidikan ?
4.
Apakah setiap masalah pendidikan
yang ditemui public dapat dijadikan agenda kebijakan pendidikan ?
5.
Apa yang dimaksud dengan formulasi kebijakan pendidikan ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Lingkungan kebijakan Pendidikan
Yang dimaksud dengan lingkungan
kebijakan pendidikan adalah segala hal yang berada di luar kebijakan tetapi
mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan. Pengaruh tersebut, bisa jadi
besar, bisa jadi kecil, langsung, tidak langsung, laten, dan jelas. Lingkungan
kebijakan pendidikan dengan demikian dapat diartikan sebagai hal yang berada di
luar kebijakan pendidikan tetapi mempunyai pengaruh besar.
Yang termasuk lingkungan kebijakan
pendidikan dirumuskan secara berbeda-beda oleh para ahli ilmu kebijakan
pendidikan. Supandi (1988) menyebutkan lingkungan kebijakan pendidikan
meliputi: kondisi sumber alam, iklim, tipografi, demografi, budaya politik, struktur
sosial, dan kondisi ekonomik.
Sementara yang dianggap paling berpengaruh terhadapa kebijakan tersebut adalah
budaya politik.
1. Kondisi
Sumber Alam
Kondisi sumber alam dapat
berpenagaruh terhadap kebijakan lingkungan pendidikan, karena kebijakan
pendidikan dibuat tidak terlepas dari ada tidaknya , cukup tidaknya, melimpah
atau kurangnya
sumber-sumber alam yang menjadi penopangnya. Di negara yang kondisi alamnya
subur, di mana masyrakatnya dapat dengan
mudah mendapatkan apa yang dibutuhkan, akan berada perumusan kebijakannya
dengan di negara yang langka mengenai sumber-sumber alam.
Keadaan sumber, yang dapat habis dan dapat diperbarui,
tentulah berbeda dengan sumber alam yang tak akan habis dan tak akan
diperbarui. Sebagai penopang dapt tidaknya kebijakan tersebut tentunya yang
nantinya dilaksanakan, kondisi sumber alam menduduki tempat stragis. Ia akan
menentukan apakah sebuah kebijakan negaran termasuk kebijakan pendidikannya
mesti bergantung kepada negara lain
ataukah tidak. Seberapa kondisi alam
berpengaruh terhadap kebijakan, memang masih dibutuhkan pembuktian secara
empiris. Namun karena antar negara satu dengan yang lain kondisi sumber alamnya
berbeda, maka temuan empiris mengenai pengaruh kondisi sumber alam bagi
kebijakan ini tentulah temuan yang sifatnya kasus, dan tidak begitu mudah
digeneralisasikan.
2. Iklim
Sebuah negara di mana dalam semua
iklimnyadapat dipergunakan untuk bekerja, tentulah akan merumuskan kebijakan
tanpa banyak pertimbangan soal iklim. Dan,jika saja ada perubahan kebijakan
sebagai akibat dari adanya iklim yang tidak diestiminasi sebelumnya, umumnya
bersifat elementer dan tidak begitu mendasar. Sebaliknya pada negara-negara
yang mnegenal musim dingin, di mana rakyatnya tidak bisa bekerja sepanjang
tahun, maka perumusan kebijakannya harus benar-benar memperhatikan faktor iklim
ini. Sebab, kalau tidak, kebijakan-kebijkan yang dirumuskan, tidak akan dapat
dilaksanakan dengan baik.
3. Demografi
Demografi atau kependudukan adalah
faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perumusan kebijakan. Negara
yang penduduknya banyak, akan dirumuskan kebijkan pendidikan secara berbeda
dengan negara yang pendududknya sedikit. Pada negara-negara yang penduduknya
banyak, secara umum berhadapan dengan
perumusan kebijakan pendidikan yang menyentuh persolan kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sumber-sumber
potensial yang dimiiliki oleh pemerinatahnya dalam usaha memenuhi kehendak
rakyatnya dibidang pendidikan.
Sementara itu, pada negara-negara
penduduknya sedikit, di mana sumber-sumber potensialnya melimpah pendidikan
yang menjadi tuntutan rakyatnya, tidak lagi sekedar bersentuhan dengan
kesempatan memperoleh pendidikan melainkan sudah mengarah pada kualitas
pendidikan.
Oleh karena itu, agar masyarakat di
seputar persoalan mutu pendidikan dapat dipenuhi oleh pemerintah pada
negara-negara yang pendududknya banyak, maka dirumuskannya kebijakan lain
seperti pemabatasan kelahiran pada penduduknya, adalah salah satu jalan
keluarnya. Di negara kita, pembatasan jumlah penduduk yang akan lahir dikenal
dengan keluarga berencana. Sebab, penduduk yang banyak memang berkonsekuensi
logis bagi disediakannya sarana yang banyak.
4. Budaya
Poitik
Budaya politik adalah keseluruhan
cara hidup, pandangan hidup dan apa saja yang diperbuat oleh masyarakat dalam
kehidupan politik. Budaya politik ini, tidak dirumuskan secara formal lewat
aturan-aturan, hukum, undang-undang
atau keputusan-keputusan tertulis. Sebagai kebiasaan yang tidak tertulis, ia
berlaku begitu saja terhadap masyarakat yang menganutnya. Meskipun tak
tertulis, ia telah tersosialisasikan dengan sneidrinya pada kehidupan
masyarakat yang menganutnya. Ia berkembang dan dipratikkan dalam kehidupan
kesekharian rakyat.
Berbeda dengan peraturan,
perundang-undangan, keputusan-keputusan formal, meskipun merupakan aturan
tertulis, ia masih perlu disosialisasikan. Meskipun demikian, pelanggaran atas
buadaya polotik, lazimnya tidak melahirkan sanksi-sanksi sebagaimana pada
pelanggarab atas perundang-undang. Pelanggar budaya politik, akan merasadihukum
oleh dirinya dan merasa diadili oleh rakyat atau orang lain, meskipun rakyat
atau orang lain tersebut tidka mengadilinya. Oleh karena itu, budaya politik
umumnya lebih mentradisi dalam kehidupan rakyat secara langsung.
Adatiga jenis budaya politik, ialah
budaya politik parokial, budaya politik subjektif dan budaya politik
partisipatoris.
a) Budaya
politik parokial
Suatu masyarakat dikatakan menganut
budaya politik parokial, jika masyarakat tersebtu tidak mempunyaai kesadaran
politik dan tidak mempunyai orientasi politik. Jika sebgai suatu sistem yang
utuh, politik mempunyai sub-sub sitem masukan, proses akan kweluaran, maka
masyarakat pemilik budaya parokila, sama sekali tidak pernah mengharapkan apa
pun dari politik sebagai masukan, politik seabagai prosesndan politik sebagai
keluaran.
b) Budaya
politik subjektif
Suatu masyarakat dikatakan mempunyai
budaya politik subjetif, manakala keasadaran dan orientasi politiknya hanya
terbatas pada keluarannya saja. Padahal, sebagai suatu sistem yang utuh,
politik mempunyai sun-sub sistem, keluaran dan proses. Masyarakat pemilik
budaya demikian, sekedar sebagai pelaksana saja terhadap keputusan-keputusan
politik yang dihasilkan oleh elit
politiknya. Sama sekali tidak punya konsekuensi terhadap politik sebagai
masukan dan proses. Karena itu, umumnya tidak memberikan masukan-masukan yang
berkaitan dengan kebijakn yang dibuat. Mereka tidak terlibat dalam perumusan
kebijakan. Mereka sekedar sebagai partisioasi dalam pelaksanaan kebijakan.
c) Budaya
politik partisipator
Masyarakat yang mempunyai kesadaran
politik tinggi adalah masyarakat yang mempunyai budaya politik partisipatoris.
Mereka tidak saja terlibat dalam kencah politik dalam pengertian keluaran,
melainkan juga sekaligus aktif menjadi partisipan dalam politik sebagai masukan
dan proses. Mereka aktif memberikan masukan-masukan terhadap kebijakan dan
dievalusai. Mereka juga tidak diragukan oleh kebijakan yang dibuat.
5. Struktur
sosial
Struktur sosial masayarakat
berpengaruh terhadap perumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan. Yang
dimaksud dengan struktur sosial adalah pelapisan-pelapisan masyarakat dari strata
tinggi sampai dengan strata rendah. Dalam realitasnya, struktur sosial
masayarakat merupakan sebuah jaringan yang kalau dilukis dapat terbentuk
piramida. Ada salah seorang atau lebih, yang oleh masyarakat ditempatkan di
dalam puncak piramid berjenjang ke bawah para pembantu dan simpatisnya, sampai
dengan membawahi orang kebanyakan.
Struktur sosial masyarakat ini
dalam realitasnya ada pada berbagai bidang kehidupan dan dapat diklasifikasikan
ke dalam banyak hal. Struktur sosial masyarakat dapat terbentuk oleh kesamaan,
adat, daerah, agama, kepercayaan, habit/kebiasaan, keahlian dan
kaesamaan-kesamaan lainnya. Masing-masing bidang membentuk jaringan-jaringan
sosialsendiri, dan menetapkan kriteria sendiri mengenai anggotanya, tokohnya
dan mereka yang layak ditempatkan pada posisi elit.
Dalam perkembangan berikutnya,
ternyata masyarakat tidak begitu saja puas dengan struktur-struktur yang secara
tradisional ada sebelumnya, dan yang merupakan warisan generasi sebelumnya.
Kian lama, masyarakat membentuk struktur sosial baru yang dapat saja berbeda
dengan struktur masyarakat sebelumnya, dan bahkan tanpa mengusik struktur
masyarakat berdasarkan kesamaan hobi, kegemaran, profesi, keahlian, kepentingan
kedaerahan dan bidang. Dengan demikian, banyaknya ragam struktur sosial,
menjadi banyaknya ragam posisi elit, semakin menunjukkan semakin beragamnya
aspirasi-aspirasi yang mesti ditampung dalam sebuah kebijakan.
6. Kondisi
sosial ekonomik
Kondisi sosial ekonomik dianggap
banyak berpengaruh terhadap kebijakan, setidak-tidaknya dapat dianalisis dari
hubungan yang selama ini dijalin oleh elit-elit politik, elit-elit sosial dan
elit-elit ekonomi. Dalam sejarah peradaban manusia, selalu saja antara
elit-elit ekonomi dan elit-elit politik mempunyai hubungan khusus. Ketika
hubungan tersebut telah menjadi semacam
tawar menawar, maka sebuah kebijakan bisa lahir dengan pengaruh elit ekonomi
dan elit sosial lainnya.
Selain itu, ekonomi yang dipunyai
oleh rakyat kebanyakan, juga menentukan kebijakan. Sebab, dalam masyarakat yang tingkat kesejahteraann
ekonominya masih rendah, peranan pemerintah secara umum dominan, sementara pada
masyarakat yang makmur secara ekonomik, peranan pemerintahnya menjadi periferal
atau marginal. Pemerintah demikian dominan perannya di negara-negara berkembang
yang secara ekonomik memang belummakmur, dan semakin berkurang peranannya pada
negara-negara maju di mana rakyatnya telah maju secara ekonomik.
B. Aktor-aktor perumusan kebijakan
pendidikan
Orang-orang yang terlibat dalam
perumusan kebijakan negara tersebut sebagai aktor perumusan kebijakan negara.
Orang orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan pendidikan disebut sebagai
aktor perumus kebijakan pendidikan. Sebutan lain bagi aktor adalah partisipasi,
peserta perumusan kebijakan pendidikan. Oleh karena kebijakan pendidikan
mempunyai tingkatan-tingkatan (nasional, umum, khusus, dan teknis), maka para
aktor perumusan kebijakan di setiap tingkatan-tingkatan tersebut berbeda.
Aktor-aktor perumusan kebijakan
negara dapat digolongkan menjadi: aktor utama perumusan kebijakan pendidikan
dan aktor non utama. Aktor utama lazim disebut aktor resmi dan aktor
struktural. Sebaliknya selain aktor utama disebut sebagai aktor non utama,
tidak resmi dan non struktural.
Yang termasuk aktor utama dalam
perumusan kebijakan pendidikan antara lain:
1) Legislatif
Legislatif sering dimaksudkan sebagai
pembentuk perundang-undang dan perumus kebijakan dalam suatu sistem politik.
Para perumus kebijakan tersebut mempunyai sebutan yang berbeda-beda pada
kebanyakan negara. Ada yang disebut parlemen, ada yang disebut DPR, MPR.
2) Eksekutif
Yang dimaksud dengan eksekutif adalah
pelaksana undang-undang. Sungguh pun sebagai pelaksana, eksekutif juga berperan
dalam perumusan kebijakan. Selain alasan-alasan yang dikemukakan di atas, ada
alasan lain mengapa eksekutif juga berperan dalam perumusan kebijakan. Yaitu,
bahwa agar kebijakan yang dibuat atau dirumuskan oleh legislatif dapat
dilaksanakan sesuai dengan faktor kondisional dan situasional, eksekutif
biasanya merumuskan kembali kebijakan yang dibuat oleh legislatif dalam bentuk
kebijakan jabaran.
3) Administrator
Administrator tertinggi masing-masing departemen
di negara-negara merdeka umumnya memegang peranan penting dalam merumuskan
kebijakan departemennya, oleh karena mereka lebih tahu banyak tentang apa-apa
ynag harus mereka kelola. Administrator departemen tersebut (dalam hal ini
adalah Menteri) dikenal sebagai pembantu eksekutif, membidangii masing-masing
bidang yang didepartemenralisasikan. Dengan sendirinya, ia mempunyai kewenangan
untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan departemennya, sering
kali juga berasal dari usulan departemennya. Dengan demikian, secara meterial
administrator tersebut mempunyai kewenangan untuk merumuskan, meskipun secara
legalitas yang menetapkan adalah jajaran yang berada di atasnya: legislatif dan
eksekutif.
4) Partai
politik
Yang dimaksud dengan partai politik
adalah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan
pemerintah agar dapat melaksanakan program-programnya dan menempatkan
anggota-anggota lainnyadalam jajaran pemerinyah. Partai politik berusaha memperoleh
kekuasaan dengan dua cara, ialah secara sah dan
secara tidak sah. Adapun fungsi partai politik adalah: sebagai wahana
pendidikan politik, sosialisasi politik,
pemilihan pemimpin-pemimpin politik, pemaduan pemikiran-pemikiran politik,
memperjuangkan kepentingan rakyat, melakukan tata hubungan politik, mengkritik
rezim yang berkuasa, membina opini masayarakat, mengusulkan calon, memilih
pejabat-pejabat yang akan diangkat, bertanggung jawab atas pemerintah, menyelesaikan
perselisihan dan menyatukan pemerintahan.
5) Interest
group
Interest group atau kelompok kepentingan
adalah suatu kelompok yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai kepentingan
sama. Kelompok ini berusaha mempengaruhi pengurus kebijakan formal. Kelompok ini
berusaha agar kepentingan kelompoknya dapat terakomodasi dalam kebijakan yang
dirumuskan oleh para perumus formal.
6) Organisasi
masa
Organisasi massa adalah kumpulan
orang-orang yang mempunyai cita-cita dan keinginan yang sama. Sifat organisasi
in adalah non politis. Organisasi ini dapat berdiri atau independen dan dapat
juga berafilisasi denbgan organisasi politik tertentu.
7) Perguruan
tinggi
Perguruan tinggi adalah suatu lembaga di
mana para elit akademikus berada. Dalam penyusunan kebijakan, termasuk
kebijakan pendidikan, umumnya tidak pernah dikesampingkan. Ia memegang peranan
penting, meskipun tidak berada dalam jajaran peserta perumusan kebijakan
formal. Sebab, harapan-harapan, aspirasi-aspirasi dan masukan-masukan yang berasal dari masyarakat
lewat berbgai macam saluran, umunya dimintakan pendapatnya kepada perguruan
tinggi.
8) Tokoh
perorangan
Tokoh perorangan dapat berasal dari
berbagai bidang: agama, politik, ekonomi, pendidikan, budaya, seni dan
teknologi. Karena kapasitas pribadinya,
tokoh perorang dapat saja memberikan gagasan-gagasan, pikiran-pikiran yang
brilian bagi penyusunan kebijakan. Oleh karena tokoh perorangan ini umumnya
langsung berhubungan dengan para perumus
kebijakan formal, mereka dapat langsung menyampaiakan gagasan dan sumbangan
pikiran.
C. Masalah dan Agenda kebijakan pendidikan
Sesuatu yang dianggap orang
masalah, bisa dianggap bukan masalah oleh orang lain. Bahkan sesuatu yang
dianggap sebagai masalah orang lain bisa dianggap sebaliknya, karena
menguntungkan. Oleh karena itu, masalah kebijakan (policy problem) tidak
sekedar sama denga masalah secara umum.
Problem publik secar umum sulit
bahkan tidak dapat dipecahkan orang perorangan dan mempunyai dampak luas
terhadap masyarakat, termasuk kepada mereka ynag tidak punya problem. Sedangkan
problem privat umumnya berdampak sempit (menyentuh orang perorang) dan lazimnya
mudah diatasi secara pribadi oleh mereka yang punya problem. Meningat demikian
peliknya problem umum dan luasnya dampak yang ditimpulkan, maka problema umum
ini lebih memdapatkan perhatian dibandingkan problema privat.
Ada banyak jenis masalah kebijakan.
Pertama, disebut sebagai masalah prosedural, jika berhubungan dengan cara
bagaimana pemerintah itu diatur dan menjalankan kegiatan dan pekerjaannya.
Kedua, disebut sebagai masalah substansial, jika berkenaan dan konsekuensi dari
kegiatan manusia. Ketiga, disebut sebagai masalah distributif, jika maslah
tersebut melibatkan sedikit masyarakat dan dapat ditangani orang perorang.
Keempat, disebut sebagai masalah regulatori, jika masalah tersebut menimbulkan
hambatan dan pembatasan terhadap tindakan manusia. Kelima, disebut masalah
redistributif bila berkaitan dengan transfer sumber-sumber di antara
kelompok-kelompok atau kelas masyarakat (supandi, 1988).
Ada kalanya problema umum tersebut
menjadi problemikan antara satu orang dengan lain serta menawarkan banyak sudut
pandang. Problem umum yang demikain lazim disebut sebagai8 ”su”. Dengan
demikian “isu” adalah problema umum yang menjadi perdebatan banyak kalangn dan
berbagai sudut pandangannya.
Tidak semua masalah umu dan
“isu-isu” tersebut diperhatikan oleh perumus kebijakan. Tidak jarang
masalah-masalah umum dan isu-isu tersebut hilang begitu saja tanpa kesan.
Meskipun harus diakui, bahwa sebagian dari masalah-masalah dan “isu-isu” tersebut mendapat perhatian. Dan, masalah
umum serta “isu-isu” yang mendapatkan perhatian para perumus kebijakan inilah
yang lazim disebut sebagai agenda kebijakan.
Masalah-masalah dan “isu-isu”
tersebut bisa menjadi agenda, jika memnuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana
dikemukakan oleh teori perhatian, pertama, masalah tersebut mempunyai sifat
yang luar biasa. Suatu kejadian yang tidak lazim atau istimewa dan mempunyai
implikasi luas bisa menjadi agenda. Kedua, masalah yang berkenaan dengan
kepentingan pengurus. Ketiga, masalah-masalah yang diungkapan oleh media massa
secara serentak. Keempat, masalah-masalah yang dikemukakan oleh elit akademikus
yang mempunyai wawasan luas dan terkenal objektif.
Ada kalanya suatu masalah atau
“isu” yang dari segi kelayakan memenuhi persyaratan tetapi ternyata tidak dapat
diagendakan. Padahal masalah atau “isu” tersebut, sering kali dikemukakan dan
dibahas oleh para peserta perumus kebijakan baik peserta perumus kebijakan
formal maupun peserta perumus kebijakan tidak formal. Ternyata tingkat kelayakan
suatu masalah publik dan “isu-isu” yang muncul tidak dengan sendirinya
menjamindiagendakan. Masih banyak faktor yang turut berpengaruh terhadap
gagalnya suatu masalah atau “isu” menjadi agenda kebijakan.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab
gagal suatu masalah atau “isu” menjadi agenda kebijakan, termasuk kebijakan
pendidikan adalah: pertama, terdapatnya kelompok penekan dan penghambat baik
yang bersumber dari kelompok etnik, sekte dan kelompok-kelompok primordial.
Kedua, jika suatu masalah atau “isu-isu” tersebut jika diagendakan, bisa
bertentangan dengan tata nilai dan tata norma yang sedang berlaku atau
dijunjung tinggi masyarakat. Ketiga, jika masalah atau “isu-isu” tersebut
digendakan, dikhawatirkan dapat mengancam kedudukan dan kepentingan pemerintah
yang sedang berkuasa.
D. Formulasi kebijakan pendidikan
Aktivitas-aktifitas sekitar formulasi
adalah interaksi peranan antar peserta perumusan kebijakan pendidikan baik yang
formal maupu yang tidak formal. Waran perumusan kebijakan tersebut sangat bergantung
seberapa besar para peserta dapat memainkan peranannya masing-maisng dalam
memformulasikan kebijakan. Dengan demikian rumusan kebijakan adalah karya
group, baik group yang menjadi penguasa formal maupun yang menjadi mitra dan
rivalnya. Mereka saling mengintervensi, slaing melobi bahkan salin mengadakan
bargaining.
Agar rumusan kebijakan, termasuk
kebijakan pendidikan yang baik, haruslah memenuhi kriteria berikut: pertama, rumusan kebijakan, termasuk
kebijakan pendidikan tidak mendektekan keputusan spesifik atau hanya menciptakan
lingkungan tertentu. Kedua, rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan,
dapat dipergunakan menghadapi masalah atau situasi yang timbul secara berulang.
Hal ini berarti, bahwa waktu , biaya dan tenaga yang telah banyak dihabiskan,
tidak sekedar dipergunakan memecahkan satu masalah atau satu situasi saja.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan :
Pembahasan
diatas dapat disimpulkan secara garis besar kebijakan publik boleh
dikatakan sekedar retorika politik atau slogan politik. Secara teoretik pada
tahap implementasi ini proses perumusan kebijakan dapat digantikan tempatnya
oleh proses implementasi kebijakan, dan program-program kemudian diaktifkan.
Tetapi dalam praktik, pembedaan antar tahap perumusan kebijakan dan tahap implementasi
kebijakan sebenarnya sulit dipertahankan, karena umpan balik dari
prosedur-prosedur implementasi mungkin menyebabkan diperlukannya
perubahan-perubahan tertentu pada tujuan-tujuan dan arah kebijakan yang sudah
ditetapkan. Atau aturan-aturan dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan
ternyata perlu ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan ulang terhadap
pembuatan kebijakan pada segi implementasinya.
B.
Saran
Sebaiknya
kebijakan pendidikan berakar dari segala permasalahan pendidikan yang dikeluahakan
oleh masyarakat pada umumnya. dengan terbentuknya sebuah kebijakan diharakan
masyarakat menjadi lebih tertib, baik
dan sejaterah dibalik kebijakan tersebut. Penetapan kebijakan sebaiknya
dilandasi oleh sebuah sikp keadilan, tidak ada pihak yang merasa dirugikan
dibalik kebijakan tersebut, dilaksanakan, dan megakkan sanksi yang tegas.
DAFTAR
RUJUKAN
Dunn,
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Jogjakarta: Gajah Mada University Press
Pongtuluran,
Aris. 1995. Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan Manajerial.
Jakarta: LPMP
Imron , Ali. 1995. Kebijakan
Pendiikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar