Senin, 29 April 2013

Analisis Kebijakan dan Pembuatan Keputusan: Partisipasi Masyarakat Dalam Kebijakan Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuntutan pengembangan sumber daya manusia darri waktu kewaktu semakin meningkat. Oleh karena itu layanan pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan tersebut. Selain keluarga dan sekolah, masyarakat memiliki peran tersendiri terhadap pendidikan. Peran dominan orang tua pada saat anak-anak dalam masa pertumbuhan hingga menjadi orang tua. Dan pada masa tersebut orang tua harus mampu memenuhi kebutuhan pook seorang anak. Sedangkan peran pada pendewasaan dan pematangan individu merupakan peran dari kelompok masayarakat. Masyarakat adalah kumpulan individu dan kelompok yang diikat dalam kesatuan negara, kebudayaan, dan agama yang memiliki cita-cita,peraturan-peraturann dan sistem kekuasaan tertentu.Sedangkan partisipasi masyarakat merupakan ikut sertaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program pembangunan.
 Selama ini penyelenggaraan partisipasi masyarakat di Indonesia terbatas pada keikutsertaan anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan program-program pembangunan. Hal ini dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah dan negara. Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah namun harus dapat mewakili masyrakat itu sendiri dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan secara individu atau kelompok, spontan atau terorganisir, secara berkelanjutan atau sesaat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengetian partisipasi masyarakat?
2. Mengapa diperlukan partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan?
3. Apa batasan partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan?
4. Bagaimana upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kebijakan
pendidikan?

C. Tujuan
1.  Untuk mengetahui pengetian partisipasi masyarakat.
2.  Untuk mengetahui mengapa diperlukan partisipasi masyarakat dalam
kebijakan pendidikan.
3.  Untuk mengetahui batasan partisipasi masyarakat dalam kebijakan
Pendidikan.
4.  Untuk mengetahui upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
kebijakan pendidikan.





BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Partisipasi Masyarakat

Partisipasi dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah ikut serta dalam suatu kegiatan. Sedangkan masyarakat menurut Aly dan Supatra (dalam Yulianto, 2010)  adalah eksistensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang. Menurut pendapat Mubyarto (dalam Amransyah, 2012) bahwa mendefinisikan partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu keberhasilan setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Menurut Canter (dalam Amransyah, 2012) mendefinisikan partisipasi sebagai feed-forward information and feedback information. Dengan definisi ini, partisipasi masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus dapat diartikan bahwa partisipasi masyarakat merupakan komunikasi antara pihak pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat di pihak lain sebagai pihak yang merasakan langsung dampak dari kebijakan tersebut. Dari pendapat Canter juga tersirat bahwa masyarakat dapat memberikan respon positif dalam artian mendukung atau memberikan masukan terhadap program atau kebijakan yang diambil oleh pemerintah, namun dapat juga menolak kebijakan.
Kebijakan pendidikan dibuat dan diimplementasikan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat. Oleh karena masalah-masalah rakyat  yang bermaksud  dipecahkan, maka dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dan partisipasi rakyat.
 Peran serta masyarakat/partisipasi masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan . selain itu masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana dan pengguna hasil.
 Dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1992 BAB III pasal 4 peran serta /partisipasi maysarakat dapat berbentuk:


1.         Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur pendidikan sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis pendidikan kecuali pendidikan kedinasan, dan pada semua jenjang pendidikan di jalur pendidikan sekolah;
2.         Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk melaksanakan atau membantu melaksanakan pengajaran, pembimbingan dan/atau pelatihan peserta didik;
3.         Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dan/atau penelitian dan pengembangan;
4.         Pengadaan dan/atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan dan/atau diselenggarakan oleh pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional;
5.         Pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah, sumbangan, pinjaman, beasiswa, dan bentuk lain yang sejenis;
6.         Pengadaan dan pemberian bantuan ruangan, gedung, dan tanah untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar;
7.         Pengadaan dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar;
8.         Pemberian kesempatan untuk magang dan/atau latihan kerja;
9.         Pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraan satuan pendidikan dan pengembangan pendidikan nasional;
10.     Pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan/atau penyelenggaraan pengembangan pendidikan;
11.     Pemberian bantuan dan kerjasama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan; dan
12.     Keikutsertaan dalam program pendidikan dan/atau penelitian yang diselenggarakan oleh pemerintah di dalam dan/atau di luar negeri.

Peranserta masyarakat itu lebih tegas disebutkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002, tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (Hadiyanto, 2004:86). Baik Dewan Pendidikan maupun Komite Sekolah, mereka berperan sebagai:
1.         Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan;
2.         Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan;
3.         Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan;
4.         Mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif) dengan masyarakat.
B. Alasan Perlunya Partisipasi Masyarakat dalam Kebijakan Pendidikan

Di negara yang menjunjung tinggi demokrasi, diyakini bahwa pemerintahan dibuat dari, oleh dan untuk rakyat. Kebijakan-kebijakan negaranya termasuk kebijakan pendidikannya, sebagai bagian dari perangkat untuk menjalankan pemerintahan di negara tersebut, juga berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Karena itu, partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan bukanlah jargon baru lagi.
Selain alasan demokrasi, kebijakan pendidikan tersebut secara kongkrit dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat di bidang pendidikan. Rakyat lebih banyak tahu mengenai masalah mereka sendiri, dan bahkan juga banyak mengetahui bagaimana cara memecahkannya. Maka, keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, justru memperkukuh pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana formal.
Pembangunan yang dilakukan oleh negara termasuk salah satu wujud dari implementasi kebijaksanaan yang diformulasikan. Yang dibangun tersebut, tidak hanya masalah fisik dan mental, melainkan juga sekaligus pembangunan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat, dengan demikian termasuk bagian atau objek dari pembangunan itu sendiri.
Masyarakat yang dipandang sebagai modal dasar pembangunan, yang jika digalakkan akan besar sumbangannya terhadap pembangunan yang digalakkan. Keterlibatan mereka dalam melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan negara, termasuk kebijaksanaan pendidikannya, adalah manifestasi dari pemanfaatan dan pendayagunaan modal dasar pembangunan.
Keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan, tidak saja sekedar dipandang sebagai loyalitas rakyat atas pemerintahannya, melainkan yang juga tak kalah penting adalah kebijaksanaan tersebut hendaknya dianggap oleh masyarakat sebagai miliknya. Dengan adanya perasaan memiliki terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan, masyarakat akan semakin banyak sumbangannya dalam pelaksanaan-pelaksanaan kebijaksanaan, termasuk kebijaksanaan pendidikannya.

C. Batasan Partisipasi Masyarakat

Partisipasi adalah suatu term yang menunjuk kepada adanya keikutsertaan secara nyata dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat dalam kebijaksanaan pendidikan adalah keikutsertaan masyarakat dalam memberikan gagasan, kritik membangun, dukungan dan pelaksanaan kebijaksanaan pendidikan. Dalam sistem pendidikan yang top down partisipasi masyarakat dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dibuat dan diimplementasikan tidak begitu dipermasalahan; tetapi pada sistem pemerintahan yang bottom up, tingginya partisipasi masyarakat dalam impementasi kebijaksanaan, dapat dijadikan sebagai indikasi sukses tidaknya kebijaksanaan.
Muhajirin (dalam Imron, 2008) menggolongkan partisipasi masyarakat ke dalam tipologinya, ialah partisipasi kuantitatif dan partisipasi kualitatif. Partisipasi kuantitatif menunjuk kepada frekuensi keikutsertaan terhadap implementasi kebijaksanaan, sementara partisipasi kualitatif menunjuk kepada tingkat dan derajatnya.
Koentjoroningrat (dalam Imron, 2008) menggolongkan partisipasi masyarakat berdasarkan posisi individu dalam kelompoknya. Pertama, partisipasi masyarakat dalam aktivitas bersama dalam proyek khusus; kedua, partisipasi anggota masyarakat sebagai individu dalam aktivitas bersama pembangunan.
Miftah Thoha (dalam Imron, 2008) menggolongkan partisipasi masyarakat ke dalam tiga golongan, yaitu: partisipasi mandiri yang merupakan usaha berperan serta yang dilakukan secara mandiri oleh pelakunya, partisipasi mobilisasi, dan partisipasi seremoni.
Secara luas, partisipasi dapat diartikan sebagai demokratisasi politik: masyarakat yang menentukan tujuan, strategi dan perwakilannya dalam pelaksanaan kebijaksanaan atau pembangunan. Secara sempit, partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan proses perubahan dan pengembangan masyarakat sesuai dengan arti pembangunan sendiri. Sebagai lawan dari kegiatan politik, partisipasi dapat diartikan sebagai: golongan-golongan masyarakat yang berbeda-beda kepentingnnya dididik mengajukan secara rasional keinginannya dan menerima sukarela keputusan pembangunan.
D. Upaya-upaya Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Kebjakan Pendidikan

Setiap kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pembuat dan pelaksana kebijaksanaan, umumnya mendapat respons dari masyarakat. Meskipun mungkin suatu kebijakan tidak didukung oleh sebagian masyarakat. Meskipun mungkin suatu kebijakan tidak didukung oleh sebagian besar masyarakat, tetapi haruslah disadari bahwa sebagian masyarakat yang lainnya pasti ada yang mendukung.
Dengan demikian, pembuat dan pelaksana kebijakan harus senantiasa berusaha agar kebijaksanaan yang digulirkan, melibatkan sebanyak mungkin partisipasi masyarakat, terutama dalam hal pelaksanaannya. Hal inilah memerlukan upaya dan rekayasa.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1.      Menawarkan sanksi atas masyarakat yang tidak mau berpartisipasi.
2.      Menawarkan hadiah kepada mereka yang mau berpartisipasi.
3.      Melakukan persuasi kepada masyarakat, bahwa dengan keikutsertaan masyarakat dalam kebijaksanaan yang dilaksanakan, justru akan menguntungkan masyarakat sendiri, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
4.      Menghimbau masyarakat untuk turut berpartisipasi melalui serangkaian kegiatan.
5.      Mengaitkan partisipasi masyarakat dengan layanan birokrasi yang lebih baik.
6.      Menggunakan tokoh-tokoh kunci masyarakat yang mempunyai khalayak banyak untuk ikut serta dalam kebijaksanaan, agar masyarakat kebanyakan yang menjadi pengikutnya juga sekaligus ikut serta dalam kebijaksanaan yang diimplementasikan.
7.      Mengaitkan keikutsertaan masyarakat dalam implementasi kebijaksanaan dengan kepentingan mereka.
8.      Menyadarkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi terhadap kebijaksanaan yang telah ditetapkan secara sah. Dan kebijaksanaan yang sah tersebut adalah salah satu dari wujud pelaksanaan dan perwujudan aspirasi masyarakat.

Ada beberapa penyebab mengapa masyarakat enggan atau tidak mau berpartisipasi dalam kebijakan yang digulirkan. Penyebab-penyebab tersebut adalah:
1.      Jika kebijaksanaan tersebut bertentangan dengan tata nilai dan tata norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
2.      Kurang mengikatnya kebijaksanaan tersebut kepada masyarakat. Ada kebijaksanaan yang sangat mengikat dan kebijaksanaan yang begitu mengikat. Kebijaksanaan yang sangat mengikat umumnya memberlakukan sanksi yang jelas bahkan bisa menjadi penyebab yang menerima sanksi dianggap mempunyai cacat sosial; sedangkan kebijaksanaan yang tidak demikian mengikat umumnya tidak demikian dipatuhi dan tidak menjadikan penyebab cacat sosial bagi pelanggarnya.
3.      Adanya ketidakpastian  hokum baik bagi mereka yang berpartisipasi aktif maupun bagi mereka yang tidak berpartisipasi.
4.      Jika kebijaksanaan tersebut terlalu ambisius dan ideal, sehingga oleh masyarakat dianggap tidak realitis. Hal demikian bisa menjadikan penyebab masyarakat enggan berpartisipasi, karena mereka tidak yakin bahwa partisipasi mereka membawa hasil.
5.      Adanya anggota masyarakat yang memang sengaja tidak berpartisipasi disebabkan alasan-alasan untuk mencari untung secara tepat. Padahal, keuntungan tersebut baru didapat, jika ia melanggar ketentuan yang berlaku dalam kebijaksanaan. Anggota masyarakat tersebut cenderung tidak mau berpartisipasi dalam kebijaksanaan yang digulirkan.
6.      Rumusan kebijaksanaan tidak jelas dan mungkin antara rumusan satunya dengan yang lain kelihatan bertentangan, lebih-lebih partisipasi aktif yang dilandasi oleh kesadaran yang dalam.


















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Partisipasi masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus dapat diartikan bahwa partisipasi masyarakat merupakan komunikasi antara pihak pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat di pihak lain sebagai pihak yang merasakan langsung dampak dari kebijakan tersebut.
Akhirnya dapatlah disadari bahwa partisipasi masyarakat bagi kebersilan kebijakan pendidikan menduduki posisi yang strategis, karena masyarakat pada dasarnya merupakan stakeholders pendidikan yang paling utama. Dengan demikian sangatlah tepat, jika masyarakat mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan untuk berbagai persoalan yang penting dalam proses pendidikan. Atas dasar pengertian ini, maka otonomi pendidikan pada dasarnya memungkinkan terciptanya keyakinan bahwa pendidikan itu dari, oleh, dan untuk masyarakat.

B. Saran
Fungsi masyarakat sebagai pusat pendidikan sangat bergantung pada taraf perkembangan dari masyrakat dan sumber-sumber belajar yang tersedia didalamnya. Lembaga-lembaga masyarakat yang mempunyai peran edukatif yang sangat besar adalah kelompok sebaya, organisasi (kepemudaan, keagamaan, sosial, kebudayaan, ekonomi, politik) dan media massa.
 Sebagai bagian dari masyarakat, maka marilah kita hendaknya untuk lebih meningkatkan partisipasi dan kepedulian kita terhadap pendidikan yang ada di lingkungan tempat tinggal kita. Sehingga pendidikan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.





DAFTAR RUJUKAN

Amransyah, M.S. 2012. Teori Partisipasi Masyarakat Menurut Para Ahli., (Online), (http://child-island.blogspot.com/2012/03/teori-partisipasi-masyarakat-menurt.html), diakses 28 Januari 2013.
Hadiyanto. 2004. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta.
Imron, Ali. 2008. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta:Bumi Aksara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peranserta Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional. (Online), (http://www.bbhn.go.id), diakses 28 Januari 2013.




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar