BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tuntutan pengembangan sumber daya manusia darri waktu
kewaktu semakin meningkat. Oleh karena
itu layanan pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan tersebut. Selain keluarga
dan sekolah, masyarakat memiliki peran tersendiri terhadap pendidikan. Peran
dominan orang tua pada saat anak-anak dalam masa pertumbuhan hingga menjadi
orang tua. Dan pada masa tersebut orang tua harus mampu memenuhi kebutuhan pook
seorang anak. Sedangkan peran pada pendewasaan dan pematangan individu
merupakan peran dari kelompok masayarakat. Masyarakat adalah kumpulan individu
dan kelompok yang diikat dalam kesatuan negara, kebudayaan, dan agama yang
memiliki cita-cita,peraturan-peraturann dan sistem kekuasaan tertentu.Sedangkan
partisipasi masyarakat merupakan ikut sertaan masyarakat dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program pembangunan.
Selama ini
penyelenggaraan partisipasi masyarakat di Indonesia terbatas pada keikutsertaan
anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan
program-program pembangunan. Hal ini dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan
pemerintah dan negara. Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya
anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan
pemerintah namun harus dapat mewakili masyrakat itu sendiri dengan kepentingan
mereka. Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan secara individu atau
kelompok, spontan atau terorganisir, secara berkelanjutan atau sesaat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengetian partisipasi masyarakat?
2. Mengapa
diperlukan partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan?
3. Apa batasan
partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan?
4. Bagaimana
upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kebijakan
pendidikan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengetian partisipasi
masyarakat.
2. Untuk mengetahui mengapa diperlukan
partisipasi masyarakat dalam
kebijakan
pendidikan.
3. Untuk mengetahui batasan partisipasi
masyarakat dalam kebijakan
Pendidikan.
4. Untuk mengetahui upaya meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam
kebijakan
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Partisipasi Masyarakat
Partisipasi dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah ikut
serta dalam suatu kegiatan. Sedangkan masyarakat menurut Aly dan
Supatra (dalam Yulianto, 2010) adalah
eksistensi yang hidup, dinamis, dan selalu
berkembang. Menurut
pendapat Mubyarto (dalam Amransyah,
2012) bahwa mendefinisikan partisipasi
sebagai kesediaan untuk membantu keberhasilan setiap program sesuai dengan
kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Menurut Canter (dalam Amransyah, 2012) mendefinisikan
partisipasi sebagai
feed-forward information and feedback information. Dengan definisi ini,
partisipasi masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus
dapat diartikan bahwa partisipasi masyarakat merupakan komunikasi antara pihak
pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat di pihak lain sebagai
pihak yang merasakan langsung dampak dari kebijakan tersebut. Dari pendapat
Canter juga tersirat bahwa masyarakat dapat memberikan respon positif dalam
artian mendukung atau memberikan masukan terhadap program atau kebijakan yang
diambil oleh pemerintah, namun dapat juga menolak kebijakan.
Kebijakan pendidikan dibuat dan
diimplementasikan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat.
Oleh karena masalah-masalah rakyat yang
bermaksud dipecahkan, maka dalam
pelaksanaannya memerlukan dukungan dan partisipasi rakyat.
Peran serta
masyarakat/partisipasi masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan
. selain itu masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana dan
pengguna hasil.
Dalam Peraturan
Pemerintah No. 39 Tahun 1992 BAB III pasal 4 peran serta /partisipasi
maysarakat dapat berbentuk:
1.
Pendirian dan penyelenggaraan satuan
pendidikan pada jalur pendidikan sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah,
pada semua jenis pendidikan kecuali pendidikan kedinasan, dan pada semua
jenjang pendidikan di jalur pendidikan sekolah;
2.
Pengadaan dan pemberian bantuan
tenaga kependidikan untuk melaksanakan atau membantu melaksanakan pengajaran,
pembimbingan dan/atau pelatihan peserta didik;
3.
Pengadaan dan pemberian bantuan
tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dan/atau
penelitian dan pengembangan;
4.
Pengadaan dan/atau penyelenggaraan
program pendidikan yang belum diadakan dan/atau diselenggarakan oleh pemerintah
untuk menunjang pendidikan nasional;
5.
Pengadaan dana dan pemberian bantuan
yang dapat berupa wakaf, hibah, sumbangan, pinjaman, beasiswa, dan bentuk lain
yang sejenis;
6.
Pengadaan dan pemberian bantuan
ruangan, gedung, dan tanah untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar;
7.
Pengadaan dan pemberian bantuan buku
pelajaran dan peralatan pendidikan untuk melaksanakan kegiatan
belajar-mengajar;
8.
Pemberian kesempatan untuk magang
dan/atau latihan kerja;
9.
Pemberian bantuan manajemen bagi
penyelenggaraan satuan pendidikan dan pengembangan pendidikan nasional;
10.
Pemberian pemikiran dan pertimbangan
berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan/atau penyelenggaraan pengembangan
pendidikan;
11.
Pemberian bantuan dan kerjasama dalam
kegiatan penelitian dan pengembangan; dan
12.
Keikutsertaan dalam program
pendidikan dan/atau penelitian yang diselenggarakan oleh pemerintah di dalam
dan/atau di luar negeri.
Peranserta masyarakat itu lebih tegas disebutkan
dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002, tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah (Hadiyanto, 2004:86). Baik Dewan Pendidikan
maupun Komite Sekolah, mereka berperan sebagai:
1.
Pemberi pertimbangan (advisory
agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan;
2.
Pendukung (supporting agency),
baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan
pendidikan;
3.
Pengontrol (controlling agency)
dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran
pendidikan;
4.
Mediator antara pemerintah
(eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif) dengan masyarakat.
B. Alasan
Perlunya Partisipasi Masyarakat dalam Kebijakan
Pendidikan
Di negara yang menjunjung tinggi
demokrasi, diyakini bahwa pemerintahan dibuat dari, oleh dan untuk rakyat. Kebijakan-kebijakan
negaranya termasuk kebijakan
pendidikannya, sebagai bagian dari perangkat untuk menjalankan pemerintahan di
negara tersebut, juga berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Karena itu,
partisipasi masyarakat dalam kebijakan
pendidikan bukanlah jargon baru lagi.
Selain alasan demokrasi, kebijakan pendidikan tersebut
secara kongkrit dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh
rakyat di bidang pendidikan. Rakyat lebih banyak tahu mengenai masalah mereka sendiri,
dan bahkan juga banyak mengetahui bagaimana cara memecahkannya. Maka,
keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan tersebut,
justru memperkukuh pelaksanaan kebijakan yang
dilakukan oleh pelaksana formal.
Pembangunan yang dilakukan oleh negara
termasuk salah satu wujud dari implementasi kebijaksanaan yang diformulasikan.
Yang dibangun tersebut, tidak hanya masalah fisik dan mental, melainkan juga
sekaligus pembangunan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat, dengan
demikian termasuk bagian atau objek dari pembangunan itu sendiri.
Masyarakat yang dipandang sebagai modal
dasar pembangunan, yang jika digalakkan akan besar sumbangannya terhadap
pembangunan yang digalakkan. Keterlibatan mereka dalam melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan negara, termasuk kebijaksanaan pendidikannya,
adalah manifestasi dari pemanfaatan dan pendayagunaan modal dasar pembangunan.
Keikutsertaan masyarakat dalam
pelaksanaan kebijakan,
tidak saja sekedar dipandang sebagai loyalitas rakyat atas pemerintahannya,
melainkan yang juga tak kalah penting adalah kebijaksanaan tersebut hendaknya
dianggap oleh masyarakat sebagai miliknya. Dengan adanya perasaan memiliki
terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan, masyarakat akan semakin banyak
sumbangannya dalam pelaksanaan-pelaksanaan kebijaksanaan, termasuk
kebijaksanaan pendidikannya.
C. Batasan Partisipasi
Masyarakat
Partisipasi adalah suatu term yang
menunjuk kepada adanya keikutsertaan secara nyata dalam suatu kegiatan.
Partisipasi masyarakat dalam kebijaksanaan pendidikan adalah keikutsertaan
masyarakat dalam memberikan gagasan, kritik membangun, dukungan dan pelaksanaan
kebijaksanaan pendidikan. Dalam sistem pendidikan yang top down partisipasi masyarakat dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang dibuat dan diimplementasikan tidak begitu dipermasalahan; tetapi pada
sistem pemerintahan yang bottom up,
tingginya partisipasi masyarakat dalam impementasi kebijaksanaan, dapat
dijadikan sebagai indikasi sukses tidaknya kebijaksanaan.
Muhajirin (dalam Imron, 2008)
menggolongkan partisipasi masyarakat ke dalam tipologinya, ialah partisipasi
kuantitatif dan partisipasi kualitatif. Partisipasi kuantitatif menunjuk kepada
frekuensi keikutsertaan terhadap implementasi kebijaksanaan, sementara
partisipasi kualitatif menunjuk kepada tingkat dan derajatnya.
Koentjoroningrat (dalam Imron, 2008)
menggolongkan partisipasi masyarakat berdasarkan posisi individu dalam
kelompoknya. Pertama, partisipasi masyarakat dalam aktivitas bersama dalam
proyek khusus; kedua, partisipasi anggota masyarakat sebagai individu dalam
aktivitas bersama pembangunan.
Miftah Thoha (dalam Imron, 2008)
menggolongkan partisipasi masyarakat ke dalam tiga golongan, yaitu: partisipasi
mandiri yang merupakan usaha berperan serta yang dilakukan secara mandiri oleh
pelakunya, partisipasi mobilisasi, dan partisipasi seremoni.
Secara luas, partisipasi dapat diartikan
sebagai demokratisasi politik: masyarakat yang menentukan tujuan, strategi dan
perwakilannya dalam pelaksanaan kebijaksanaan atau pembangunan. Secara sempit,
partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan
proses perubahan dan pengembangan masyarakat sesuai dengan arti pembangunan
sendiri. Sebagai lawan dari kegiatan politik, partisipasi dapat diartikan
sebagai: golongan-golongan masyarakat yang berbeda-beda kepentingnnya dididik
mengajukan secara rasional keinginannya dan menerima sukarela keputusan
pembangunan.
D. Upaya-upaya
Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Kebjakan
Pendidikan
Setiap kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pembuat
dan pelaksana kebijaksanaan, umumnya mendapat respons dari masyarakat. Meskipun
mungkin suatu kebijakan
tidak didukung oleh sebagian masyarakat. Meskipun mungkin suatu kebijakan tidak didukung oleh
sebagian besar masyarakat, tetapi haruslah disadari bahwa sebagian masyarakat
yang lainnya pasti ada yang mendukung.
Dengan demikian, pembuat dan pelaksana kebijakan harus senantiasa
berusaha agar kebijaksanaan yang digulirkan, melibatkan sebanyak mungkin
partisipasi masyarakat, terutama dalam hal pelaksanaannya. Hal inilah
memerlukan upaya dan rekayasa.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Menawarkan
sanksi atas masyarakat yang tidak mau berpartisipasi.
2. Menawarkan
hadiah kepada mereka yang mau berpartisipasi.
3. Melakukan
persuasi kepada masyarakat, bahwa dengan keikutsertaan masyarakat dalam
kebijaksanaan yang dilaksanakan, justru akan menguntungkan masyarakat sendiri,
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
4. Menghimbau
masyarakat untuk turut berpartisipasi melalui serangkaian kegiatan.
5. Mengaitkan
partisipasi masyarakat dengan layanan birokrasi yang lebih baik.
6. Menggunakan
tokoh-tokoh kunci masyarakat yang mempunyai khalayak banyak untuk ikut serta
dalam kebijaksanaan, agar masyarakat kebanyakan yang menjadi pengikutnya juga
sekaligus ikut serta dalam kebijaksanaan yang diimplementasikan.
7. Mengaitkan
keikutsertaan masyarakat dalam implementasi kebijaksanaan dengan kepentingan
mereka.
8. Menyadarkan
masyarakat untuk ikut berpartisipasi terhadap kebijaksanaan yang telah
ditetapkan secara sah. Dan kebijaksanaan yang sah tersebut adalah salah satu dari
wujud pelaksanaan dan perwujudan aspirasi masyarakat.
Ada beberapa penyebab mengapa masyarakat
enggan atau tidak mau berpartisipasi dalam kebijakan
yang digulirkan. Penyebab-penyebab tersebut adalah:
1. Jika
kebijaksanaan tersebut bertentangan dengan tata nilai dan tata norma yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat.
2. Kurang
mengikatnya kebijaksanaan tersebut kepada masyarakat. Ada kebijaksanaan yang
sangat mengikat dan kebijaksanaan yang begitu mengikat. Kebijaksanaan yang
sangat mengikat umumnya memberlakukan sanksi yang jelas bahkan bisa menjadi
penyebab yang menerima sanksi dianggap mempunyai cacat sosial; sedangkan
kebijaksanaan yang tidak demikian mengikat umumnya tidak demikian dipatuhi dan
tidak menjadikan penyebab cacat sosial bagi pelanggarnya.
3. Adanya
ketidakpastian hokum baik bagi mereka
yang berpartisipasi aktif maupun bagi mereka yang tidak berpartisipasi.
4. Jika
kebijaksanaan tersebut terlalu ambisius dan ideal, sehingga oleh masyarakat
dianggap tidak realitis. Hal demikian bisa menjadikan penyebab masyarakat
enggan berpartisipasi, karena mereka tidak yakin bahwa partisipasi mereka
membawa hasil.
5. Adanya
anggota masyarakat yang memang sengaja tidak berpartisipasi disebabkan
alasan-alasan untuk mencari untung secara tepat. Padahal, keuntungan tersebut
baru didapat, jika ia melanggar ketentuan yang berlaku dalam kebijaksanaan.
Anggota masyarakat tersebut cenderung tidak mau berpartisipasi dalam
kebijaksanaan yang digulirkan.
6. Rumusan
kebijaksanaan tidak jelas dan mungkin antara rumusan satunya dengan yang lain
kelihatan bertentangan, lebih-lebih partisipasi aktif yang dilandasi oleh
kesadaran yang dalam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Partisipasi
masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus dapat
diartikan bahwa partisipasi masyarakat merupakan komunikasi antara pihak
pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat di pihak lain sebagai
pihak yang merasakan langsung dampak dari kebijakan tersebut.
Akhirnya dapatlah disadari bahwa
partisipasi masyarakat bagi kebersilan kebijakan
pendidikan menduduki posisi yang strategis, karena masyarakat pada dasarnya
merupakan stakeholders pendidikan yang paling utama. Dengan demikian sangatlah
tepat, jika masyarakat mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya dalam
pengambilan keputusan untuk berbagai persoalan yang penting dalam proses
pendidikan. Atas dasar pengertian ini, maka otonomi pendidikan pada dasarnya
memungkinkan terciptanya keyakinan bahwa pendidikan itu dari, oleh, dan untuk
masyarakat.
B. Saran
Fungsi masyarakat sebagai pusat pendidikan
sangat bergantung pada taraf perkembangan dari masyrakat dan sumber-sumber
belajar yang tersedia didalamnya. Lembaga-lembaga masyarakat yang mempunyai
peran edukatif yang sangat besar adalah kelompok sebaya, organisasi (kepemudaan,
keagamaan, sosial, kebudayaan, ekonomi, politik) dan media massa.
Sebagai bagian
dari masyarakat, maka marilah kita hendaknya untuk lebih meningkatkan
partisipasi dan kepedulian kita terhadap pendidikan yang ada di lingkungan
tempat tinggal kita. Sehingga pendidikan dapat berlangsung dengan
sebaik-baiknya.
DAFTAR RUJUKAN
Amransyah,
M.S. 2012. Teori Partisipasi Masyarakat
Menurut Para Ahli., (Online), (http://child-island.blogspot.com/2012/03/teori-partisipasi-masyarakat-menurt.html), diakses 28 Januari 2013.
Hadiyanto.
2004. Mencari Sosok Desentralisasi
Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta.
Imron,
Ali. 2008. Kebijakan Pendidikan di
Indonesia. Jakarta:Bumi Aksara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
1992 tentang Peranserta Masyarakat Dalam
Pendidikan Nasional. (Online),
(http://www.bbhn.go.id), diakses 28 Januari 2013.
Yulianto,
J.A. 2010. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Pendidikan, (Online), (http://pandidikan.blogspot.com/2010/05/partisipasi-masyarakat-dalam.html), diakses 28 Januari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar