BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Komunikasi pada hakekatnya adalah suatu proses sosial,
yaitu sesuatu yang berlangsung atau berjalan antar manusia. Sebagai proses sosial,
maka dalam komunikasi terjadi interaksi individu dengan lingkungannya. Inilah
yang akhirnya menyebabkan terjadinya proses perubahan perilaku dari tidak tahu
menjadi tahu, dati tidak paham menjadi paham dan dari yang sebelumnya tidak
mengacuhkan situasi masa depan menjadi berantusias sekali akan harapan-harapan
positif pada masa yang akan datang.
Kebijakan pendidikan yang telah disahkan hendaknya senantiasa dikomunikasikan kepada rakyat.Mengapa perlu dikomunikasikan?Agar kebijakan pendidikan tersebut dikenal oleh, dan bahkan dianggap sebagai bagian dari kehidupan rakyat. Dengan perkataan lain, komunikasi kebijakan pendidikan bermaksud mengkhalayakkan rumusan kebijakan yang sudah sah (legitimated) tersebut kepada khalayak luas.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian dari komunikasi kebijakan pendidikan?
2. Apakah
tujuan dari komunikasi kebijakan pendidikan?
3. Apakah
alasan diperlukannya komunikasi kebijakan pendidikan?
4. Apakah
batasan komunikasi kebijakan pendidikan?
5. Apa
saja model-model komunikasi kebijakan pendidikan?
6. Apa
saja problema komunikasi kebijakan pendidikan?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Mengetahui
pengertian komunikasi kebijakan pendidikan.
2. Mengetahui
tujuan dari komunikasi kebijakan pendidikan.
3. Mengetahui
alasan perlunya komunikasi kebijakan pendidikan.
4. Mengetahui
batasan komunikasi kebijakan pendidikan.
5. Mengetahui
model-model komunikasi kebijakan pendidikan.
6. Mengetahui
problema komunikasi kebijakan pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
KomunikasiKebijakan Pendidikan
Wilbur
Schrarmm (Ashadi, 1987, dalam Suprapto, 2006: 4-5) menyatakan komunikasi
sebagai suatu proses berbagi (sharing
process), Schrarmm menguraikan demikian: “Komunikasi berasal dari kata-kata
(bahasa) latin communis yang berarti
umum (common) atau bersama. Apabila
kita berkomunikasi, sebenarnya kita sedang berusaha menumbuhkan suatu
kebersamaan (commoness) dengan
seseorang.Yaitu kita berusaha berbagi informasi, ide, atau sikap”.
Dari
uraian Schrarmm itu dapat disimpulkan bahwa sebuah komunikasi yang efektif
adalah komunikasi yang berhasil melahirkan kebersamaan (commoness), kesepahaman antar sumber (source) dengan penerima (audience-receiver)-nya.
Sebuah komunikasi akan benar-benar efektif apabila audience menerima pesan, pengertian dan lain-lain persis sama seperti
apa yang dikehendaki oleh penyampai.
Sedangkan
kebijakan adalah seperangkat aturan, dan pendidikan itu menunjuk pada
bidangnya.Sehingga, kebijakan pendidikan merupakan seperangkat aturan mengenai
pendidikan.
Maka,
komunikasi kebijakan pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses berbagi
informasi, ide, atau sikap mengenai aturan dalam pendidikan.
B.
Alasan-Alasan
Perlunya Komunikasi Kebijakan Pendidikan
1. Agar
khalayak memahami lebih dalam
Kebijakan pendidikan yang telah
dirumuskan harus senantiasa dikomunikasikan secara terus-menerus kepada
khalayak, agar khalayak memahaminya lebih dalam.Sebab, tidak diterimanya suatu
kebijakan tersebut, bisa jadi bukan karena kebijakan yang dirumuskan tersebut
kurang aspiratif, melainkan terutama karena belum dipahaminya secara mendalam
oleh khalayak.
2. Menghindari
kesalahan pemahaman
Kontinuitas komunikasi sangat
penting, jika kita sadari bahwa tidak semua hal yang dikomunikasikan oleh
komunikator itu senantiasa dapat dicerna persis oleh komunikan.Kesalahan
pemahaman inilah, yang seringkali menjadi penyebab tidak tersosialisasikannya
suatu rumusan kebijakan yang sudah sah tersebut.Bahkan, tidak mendukungnya
mereka yang terikat oleh kebijakan, terhadap kebijakan yang sah bisa disebabkan
salahnya pemahaman akibat kurangnya komunikasi.
Komunikasi
kebijakan juga harus senantiasa dilakukan, agar penetrasi-penetrasi informasi
yang tidak sesuai dengan kebijakan tidak lebih unggul dibandingkan dengan
informasi mengenai kebijakan.Informasi-informasi yang salah mengenai kebijakan,
dapat dicounter oleh informasi yang
benar mengenai kebijakan.Berarti, komunikasi kebijakan juga sekaligus dapat memperbaiki
kesalahan interpretasi khalayak terhadap kebijakan.
Dalam
setiap komunikasi, umumnya teradapat halangan atau apa yang disebut dengan barrier. Halangan demikian akan berhasil
ditembus, manakala komunikasi dilakukan secara terus-menerus. Untuk menembus barrier ini, kadang-kadang juga
diperlukan siasat tertentu.Lebih-lebih jika sifat barrier telah mentradisi dan mengakar dengan simbol- simbol yang
telah dimiliki oleh khalayak. Komunikasi yag dilakukan terus-menerus tersebut
haruslah juga memanfaatkan simbol-simbol yang lazim dipakai oleh khalayak
sasaran kebijakan.
C.
Batasan
Komunikasi Kebijakan Pendidikan
Komunikasi dalah suatu proses, yang
dalam proses tersebut partisipan bertukar tanda-tanda informasi dalam suatu
waktu. Tanda-tanda informasi tersebut data saja bersifat verbal, non verbal,
dan paralinguistik.Tanda-tanda verbal dapat berupa kata-kata, angka-angka, baik
yang diucapkan maupun yang ditulis.Tanda-tanda non verbal dapat berupa ekspresi
fasial, gerak anggota tubuh, pakaian, warna, musik, waktu, ruamg, rasa,
sentuhan, dan bau. Sedangkan tanda-tanda paralinguistik meliputi: kualitas
suara, kecepatan bicara, tekanan suara, vokalisasi, yang digunakan untuk
menunjukkan emosi tertentu (Gonzalez, dalam Jahi, 1988, dalam Imron, 2008).
Komunikasi
kebijakan pendidikan adalah sosialisasi atas rumusan-rumusan kebijakan
pendidikan yang sudah dilegitimasikan.Sebagai komunikatornya adalah para aktor
perumusan kebijakan pendidikan, sedangkan sebagai komunikannya adalah para
pelaksana kebijakan pendidikan beserta dengan perangkat dan khalayak pada
umumnya.Adapun bahan yang dikomunikasikan adalah rumusan-rumusan kebijakan,
mulai dari konsiderannya, isinya, sampai dengan penjelasannya.Para pelaksana
kebijakan pendidikan bersama dengan perangkatnya mengkomunikasikan lagi rumusan
kebijakan tersebut kepada khalayak umum.
Khalayak umum sendiri
kemudian juga mengkomunikasikan rumusan
kebijakan pendidikan
kepada sesamanya. Rumusan kebijakan tersebut, menjadi bagian dari kehidupan
khalayak, dan oleh karena itu maka mereka mengambil bagian dalam
pelaksanaannya.
D.
Model
Komunikasi Pendidikan
Model
komunikasi dapat dibedakan menjadi 3 macam.
1.
Model
Komunikasi Satu Arah
Model
Komunikasi satu arah lazim disebut sebagai komunikasi aksi. Model komunikasi satu
arah ini, umumnya berasal dari arah atas menuju ke bawah.Model komunikasi
kebijakan demikian lazim dikenal dengan top down.Komunikasi yang terjadi ialah
sepihak.Pembuat kebijakan sebagai komunikatornya, sementara pelaksana dan
khalayak menjadi komunikannya.Pembuat kebijakan dianggap sebagai sumber pesan,
sementara pelaksana dan khalayak kebanyakan dianggap sebagai penerimanya.Lebih
lanjut, para pelaksana bertindak selaku komunikatornya, kemudian khalayak
kebanyakan berlaku sebagai penerima pesannya.
Jika digambarkan, model
komunikasi satu arah dari atas ke bawah
tersebut adalah sebagai
berikut:
Dalam
perkembangan lebih lanjut, model komunikasi satu arah ini mempunyai aliran yang
berlawanan, ialah dari bawah ke atas.Model komunikasi kebijakan demikian,
dikenal dengan bottom up. Jika
digambarkan, adalah sebagai berikut:
2.
Model
Komunikasi Dua Arah
Model komunikasi ini disebut juga
model komunikasi interaksi. Model ini, mempunyai dua arah sekaligus, ialah
aliran dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Ada kebutuhan yang sama
antara perumus kebijakan yang berkapasitas sebagai sumber pesan dengan para
pelaksana kebijakan yang berkapasitas sebagai penerimanya. Ada kebutuhan yang
sama antara pelaksana kebijakan sebagai sumber pesan pesan kedua (setelah
pembuat kebijakan) dengan khalayak sebagai penerima pesan. Komunikasi dua arah,
dapat juga berupa komunikasi yang konsultatif, di mana sumber pesan dengan
penerima pesan memberikan kontribusi yang seimbang.
Jika digambarkan, model komunikasi interaksi ini adalah
sebagai berikut:
3.
Model
Komunikasi Multiarah
Model
komunikasi ini disebut juga model komunikasi transaksi. Model komunikasi ini
mempunyai aliran yang multiarah.Aliran pesan, tidak saja dari sumber pesan ke
penerima atau dari penerima ke sumber pesan, melainkan dapat terjadi antar
sumber pesan dan antar penerima pesan. Dengan demikian, keseluruhan
komponen-komponen komunikasi, baik yang bertindak sebagai pemberi pesan maupun
yang bertindak selaku penerima pesan, sama-sama memberikan kontribusi yang
seimbang dalam proses komunikasi.
Menurut model komunikasi transaksi,
pembuat kebijakan, pelaksana
kebijakan dan khalayak
sasarannya, sama-sama aktif dalam proses komunikasi. Dengan demikian,
pesan-pesan kebijakan tersebut dapat dicerna persis oleh mereka.
E.
Problema
Komunikasi Kebijakan Pendidikan
Problema
komunikasi kebijakan dapat dibedakan atas yang bersumber dari komunikatornya,
yang bersumber dari pesannya sendiri, dan yang bersumber dari komunikannya.
Problema yang bersumber dari komunikator kebijakan
pendidikan adalah:
Pertama kurang ahlinya komunikator dalam menyampaikan
pesan-pesan kebijakan, sehingga kebijakan pendidikan yang rumusannya jelas,
bisa tidak jelas karena tidak disampaikan dengan baik oleh komunikatornya.Kedua,
komunikator mempunyai referensi yang berbeda dengan komunikan dalam banyak hal.Berbedanya
referensi ini bisa menjadi penyebab taktepatnya jargon-jargon yang dipakai oleh
komunikator dalam menyampaikanpesan-pesan kebijakan pendidikan, dari visi
komunikan.Ketiga, kurangnya kredibilitas komunikator di mata komunikan.Kredibilitas
komunikator, meliputi banyak hal, mulai dari tingkat ketokohannya di
masyarakatnya (di mata komunikan), perilaku dan sikapnya, serta kemampuan
aktingnya.Bagaimanapun juga, komunikator adalah orang yang menjadi pusat
perhatian khalayak. Karena itu, kapasitas pribadinya tidak akan lepas dari
penilaian khalayak.
Problema-problema
komunikasi kebijakan pendidikan yang bersumber
dari
pesannya sendiri adalah:
Pertama, pesan itu sendiri, ialah rumusan kebijakannya
tidak begitu jelas.Ketidakjelasan rumusan ini terjadi sebagai akibat dari
banyaknya kompromi dan upaya konsensus yang dilakukan oleh para aktor pada saat
merumuskan kebijakan. Jika rumusan kebijakan itu tidak jelas, maka akan
ditangkap komunikator secara tidak jelas, lebih-lebih jika disampaikan kepada
komunikan atau khalayak, akan tertangkap tidak jelas lagi.Kedua, sebagai
rumusan kebijakan yang baru dan belum mengkhalayak,bisa jadi rumusan kebijakan
tersebut dirasakan asing oleh khalayak.Karena dirasakan asing, memberikan
peluang bagi munculnya penolakan dari komunikan.Sebab, seberapa pun kadarnya,
komunikan pasti telah punya referensi mengenai banyak hal.Referensi yang telah
ada dalam dirinya tersebut, bisa menjadipenyebab resistensinya terhadap hal-hal
yang baru, terlebih dengan hal-hal yangasing.Ketiga, sebagai akibat dari
komprominya banyak aktor dalam merumuskankebijakan, tidak jarang rumusan
kebijakan tersebut sangat ideal dan kurangrealistik. Ini bisa menjadi penyebab
komunikan yang menerima pesan darikomunikator tersebut apatis, karena
menganggap apa yang disampaikan olehkomunikator sekedar isapan jempol. Misalnya
saja, rumusan kebijakan yangterlalu ambisius dan tidak mungkin dapat dilakukan.
Di dunia
pendidikan, contoh demikian pernah terjadi, misalnya saja
dengan mandeknya
kebijakan pendidikan di SMA, yang memecah program menjadi program A dan program
B. Sampai dengan sekarang, program B tersebut ternyata macet sampai dengan
waktu yang tidak diketahui, karena apa yang baik dalam gagasan belum tentu
realistik dengan keadaan yang ada di SMA-SMA. Fasilitas dan sumber daya manusia
yang cakap untuk pelaksanaan program tersebut ternyata terbatas dalam dunia
pendidikan kita.
Haruslah
diketahui, bahwa program B yang ditunda pelaksanaannya
tersebut
memang telah pernah diujicobakan dan berhasil, melalui eksperimentasi
yang
cukup panjang, ialah melalui SMA PPSP di sepuluh LPTK. Mengingat di
SMA
PPSP, segala sumber-sumber potensial yang dibutuhkan telah tersedia,
maka
hasil eksperimentasi tersebut mengalami hambatan pada sekolah-sekolah
konvensional
yang sumber daya pendidikannya terbatas.
Sementara itu, problema komunikasi
kebijakan pendidikan yang bersumberdari komunikannya adalah:
Pertama, heterogennya komunikan.Heterogenitas
komunikan ini, bisa dalam hal tingkatan pendidikannya, ragam etnik, kepercayaan
dan agamanya, dan ragam simbol-simbol yang dipakai dalam
kehidupannya.Heterogenitas komunikan ini, menjadikan penyebab sulitnya mencari
“bahasa” yang cocok untuk mereka.Penyesuaian penyampaian pesan berdasarkan
mereka yang berada di strata atas, tentu menjadi penyebab tidak dipahaminya
pesan-pesan tersebut oleh rakyat kebanyakan, sementara jika menyesuaikan dengan
mereka yang tingkatannya rendah, bisa dianggap tak berbobot oleh mereka yang
berada di tingakatan atas.Kedua, adanya pengetahuan sebelumnya dari pihak
komunikan yangberbeda sama sekali dengan pesan-pesan kebijakan yang baru saja
ia terima. Seleksi yang dilakukan ini bisa menjadi penyebab diterimanya kebijakan
tersebut secara sepotong-sepotong dan tidak utuh.Tidak utuhnya penerimaan atas
rumusan kebijakan bisa menjadi penyebab kelirunya pemahaman seseorang mengenai
kebijakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Komunikasi
kebijakan pendidikan merupakan suatu proses berbagi informasi, ide, atau sikap
mengenai kebijakan dalam bidang pendidikan. Komunikasi kebijakan pendidikan sangat
diperlukan bagi masyarakat agar mereka memahami lebih dalam mengenai kebijakan
pendidikan, menghindari kesalahpahaman. Komunikasi kebijakan pendidikan juga
mempunyai beberapa batasan yakni .Para pelaksana kebijakan pendidikan bersama
dengan perangkatnya mengkomunikasikan lagi rumusan kebijakan tersebut kepada
khalayak umum.Di dalam prakteknya kebijakan pendidikan memiliki beberapa model
dianntaranya model komunikasi satu arah, model komunikasi dua arah, dan model
komunikasi multiarah.Komunikasi kebijakan pendidikan di dalam kehidupan
sehari-hari terutamanya di dalam bidang pendidikan memiliki beberapa
problematika yakni kurang ahlinya komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan
kebijakan, sehingga kebijakan pendidikan yang rumusannya jelas, bisa tidak
jelas karena tidak disampaikan dengan baik oleh komunikatornya.Kedua,
komunikator mempunyai referensi yang berbeda dengan komunikan dalam banyak hal,
Ketiga, kurangnya kredibilitas komunikator di mata komunikan. Sementara itu,
problema komunikasi kebijakan pendidikan yang bersumber dari komunikannya
adalah:Pertama, heterogennya komunikan, Kedua, adanya pengetahuan sebelumnya
dari pihak komunikan yangberbeda sama sekali dengan pesan-pesan kebijakan yang
baru saja ia terima.
B.
Saran
Bagi
pihak pemerintah agar lebih memperhatikan cara mengkomunikasikan kebijakan
pendidikan kepada stakeholder
pendidikan dan khalayak, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman yang terkait
dengan pendidikan. Bagi penulis atau akademisi agar dapat menambah wawasan yang
diperlukan dalam praktik komunikasi kebijakan pendidikan.
DAFTAR
RUJUKAN
Alasan-Alasan
Perlunya Komunikasi Kebijakan Pendidikan, (Online),(http://ebookbrowse.com/alasan-alasan-perlunya-komunikasi-kebijakan-pendidikan-pdf-d355894780),
diakses 28 Januari 2013.
Imron, Ali.
2008. Kebijaksanaan Pendidikan di
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Suprapto, Tommy.
2006. Pengantar Teori Komunikasi.
Yogyakarta: Media
Pressindo(Anggota
IKAPI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar