Senin, 29 April 2013

Analisis Kebijakan dan Pembuatan Keputusan: Implementasi Kebijakan Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Salah satu kebijakan nasional di bidang pendidikan yang sangat populer dewasa ini adalah penerapan model manajemen berbasis sekolah (MBS). Penerapan model MBS ini dilandasi oleh beberapa asumsi antara lain : (1) sistem sentralisasi pendidikan yang diterapkan selama ini belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan, (2) kebijakan pendidikan selama ini lebih berfokus pada input dan output, padahal sekolah sebagai sistem hendaknya melihat dari sisi input, proses, dan output, (3) model MBS dianggap tetap dan sesuai dengan jiwa otonomi daerah yang tengah diterapkan saat ini, dan (4) lebih memberikan kesempatan dan kebebasan pada sekolah dan stakeholder dalam mengembangkan sekolah dengan kondisi dan potensidaerah masing – masing.
Pada pasal 54 UUSPN mengatur peran serta masyarakat, yaitu (a) peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan, dan (b) masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksanaan, dan penggunaan hasil pendidikan.
Dalam rangka mewujudkan visi misi sekolah sesuai dengan prinsip MBS, maka sekolah perlu memberdayakan masyarakat dan lingkungan secara optimal. Hal ini penting karena sekolah memerlukan masukan dari masyarakat dalam menyusun program yang relevan, sekaligus memerlukan dukungan masyarakat dalam melaksanakan program tersebut. Disisi lain masyarakat memerlukan jasa sekolah untuk mendapatkan program – program pendidikan sesuai dengan yang diinginkan. Oleh karena itu, sekolah berkewajiban memberi penerangan tentang tujuan – tujuan, dan program sekolah sehingga sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat terhadapa sekolah. Dengan kata lain, antara sekolah dan masyarakat  harus dibina dan dikembangkan suatu hubungan yang harmonis yang akan memberikan kontribusi yang lebih baik terhadap pengembangan pendidikan sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan pada sekolah.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian kebijakan pendidikan?
2.      Apakah fungsi kebijakan dan pendidikan?
3.      Apa saja karakteristik kebijakan pendidikan?
4.      Bagaimana implementasi kebijakan pendidikan di Indonesia?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian kebijakan pendidikan.
2.      Untuk mengetahui fungsi kebijakan dan pendidikan
3.      Untuk mengetahui karakteristik kebijakan pendidikan.
4.      Untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan pendidikan di Indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Kebijakan Pendidikan
1.      Kebijakan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik,program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.
Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama dikalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui tentang hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, untuk lebih memperjelasnya bagi semua orang yang akan berkaitan dengan kebijakan, maka alangkah baiknya definisi policy haruslah dipahamkan.
Berikut adalah definisi kebijakan.
a)      United Nations (1975) : Suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas –aktivitas tertentu atau suatu rencana(Wahab, 1990).
b)      James E. Anderson (1978) : perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Wahab, 1990).
c)      Prof. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt : a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide by it (Jones, 1997).

2.      Kebiajakan Pendidikan
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan berikut ini.
Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga.
Dapat disimpulakan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat. 

B.  Fungsi Kebijakan dan Pendidikan
Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Sedangkan Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah. Dengan dasar kata – kata bijak itu, maka perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi beban bersama orang tua, Masyarakat dan pemerintah. Dalam Undang – undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikam nasional disrbutkan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan. 
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah  untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.
C.  Karakteristik Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1.      Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
2.      Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat. 
3.      Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4.      Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan.  Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5.      Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
6.      Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.

D. Implementasi Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial ataupun kendala geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau.
Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Sistem pendidikan semacam itu tidak mungkin dipenuhi tanpa adanya suatu perencanaan pendidikan nasional yang handal. Perencanaan itu juga bukan perencanaan biasa, tetapi suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi perubahan kebutuhan dan tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan global. Globalisasi yang menjangkau seluruh bagian bumi membuat Inonesia tidak bisa terisolasi. Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi, membuat segala hal yang terjadi di dunia internasional berpengaruh juga berpengaruh ke Indonesia.
Dalam mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan. Tanggung jawab pengelolaan pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh sekolah dan masyarakat dalam rangka mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat yang paling dekat dengan peserta didik. MBS ini sekaligus memperkuat kehidupan berdemokrasi melalui desentralisasi kewenangan, sumber daya dan dana ke tingkat sekolah sehingga sekolah dapat menjadi unit utama peningkatan mutu pembelajaran yang mandiri (kebijakan langsung, anggaran, kurikulum, bahan ajar, dan evaluasi). Program MBS sendiri merupakan program nasional sebagaimana yang tercantum dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 51 (1): “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”
Dalam konteks, MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif, kreatif, dalam mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus meningkatkan diri.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu dan peduli terhadap masalah pendidikan. Implikasinya adalah pemberian kewenangan yang lebih besar kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya. Juga, melakukan perubahan kelembagaan untuk memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan, serta memberdayakan sumber daya manusia, yang menekankan pada profesionalisme.
Berikut TIGA PILAR MBS (Manajemen Berbasis Sekolah):
1. Manajemen Sekolah
a)      Kepala sekolah dan masyarakat sekolah dituntut untuk menerapkan pengelolaan/manajemen sekolah yang transparan, akuntabel dan partisipatif
b)      Kepala sekolah dan stafnya didorong berinovasi dan berimprovisasi agar menjadi kreatif dan berprakarsa.
c)      Kepala sekolah dan masyarakat sekolah menjadikan sekolah sebagai tempat perubahan.
2. Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan
a)      Kepala sekolah dan guru harus memahami konsep belajar dan cara belajar anak dan memandang anak sebagai individu yang unik yang mempunyai kemampuan yang berbeda.
b)      Proses pembelajaran didesain dengan memanfaatkan organisasi kelas agar guru dan siswa menjadi Aktif dan Kreatif yang mendukung terciptanya pembelajaran yang Efektif namun tetap Menyenangkan (PAKEM).
3. Peran Serta Masyarakat
a)      Menggali inisiatif, prakarsa, dukungan, dan kontribusi masyarakat untuk pendidikan sekolah.
b)      Masyarakat terlibat dan merasa memiliki sekolah.
c)      Sekolah yang paling berhasil & diminati masyarakat adalah sekolah yang kepala sekolah, guru, dan masyarakatnya bekerjasama secara aktif mengembangkan sekolah.
Bentuk-bentuk peran serta masyarakat termasuk:
d)     Menggunakan jasa sekolah;
e)      Memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga;
f)       Membantu anak belajar di rumah;
g)      Berkonsultasi masalah pendidikan anak;
h)      Terlibat dalam kegiatan ekstra kurikuler;
i)        Pembahasan kebijakan sekolah.
Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan sebagai konkretisasi visi dan misi organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan keperluannya.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik,program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.
Kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Fungsi kebijakan pendidikan yaitu kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah  untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni: 1) Memiliki tujuan pendidikan . Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan, 2) Memenuhi aspek legal-formal. Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah, 3)  Memiliki konsep operasional. Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai, 4) Dibuat oleh yang berwenang. Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan, 5) Dapat dievaluasi. Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti, 6) Memiliki sistematika. Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya.

B.     Saran
Dalam konteks pembangunan daerah, pendidkan seharusnya mampu memberikan respon yang baik terhadap tuntutan pembangunan dan aspirasi masyarakat yang dilayaninya. Ini berarti, bahwa perumusan kebijakan pendidikan hendaknya memperhatikan aspirasi yang berkembang di daerah tersebut.  Dan berarti dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, pihak – pihak yang berkepentingan dengan sekolah itu seperti orang tua dan masyarakat setempat, sepatutnya memiliki akses terhadap perumusan kebijakan pendidikan untuk kepentingan memajukan pendidikan.
Dalam mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan.







DAFTAR RUJUKAN

Imron,Ali. 2008. Kebijakan Pendidikan Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Gunawan, H. Ary,.1986.Kebijakan-kebijakan Pendidikan di Indonesia , Jakarta :
Bina Aksara.
Roskina Mas, Sitti. 2011. Jurnal : Partisipasi Masyarakat dan Orang Tua dalam
Penyelenggaraan Pendidikan. Volume 23, nomor 3, Maret 2011. Malang: Universitas Negeri Malang Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Manajemen Pendidikan. 
118.98.166.62/.../PAPARAN%20DI%20KEMKUMHAM%20081110.pdf
Sunandar,satrio.2012.Perencanaan Strategik.(online)
            http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2012/04/perencanaan-strategik dan.html#!/2012/04/perencanaan-strategik-dan.html
Oktajesi. 2011. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. (online)
http://oktaseiji.wordpress.com/2011/04/24/kebijakan-pendidikan-di-indonesia/ Diakses tanggal 20 januari 2013.
fathulmustaqim.2011.Kebijakan Pendidikan di Indonesia. (online)
http://fathulmustaqim.blogspot.com/2011/09/kebijakan-pendidikan-di-indonesia.html Diakses tanggal 25 januari 2013.
Rahardjo, Mudjia. 2010. Pengantar Analisis Kebijakan Pendidikan. (online)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar