BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu kebijakan nasional
di bidang pendidikan yang sangat populer dewasa ini adalah penerapan model
manajemen berbasis sekolah (MBS). Penerapan model MBS ini dilandasi oleh
beberapa asumsi antara lain : (1) sistem sentralisasi pendidikan yang
diterapkan selama ini belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan, (2)
kebijakan pendidikan selama ini lebih berfokus pada input dan output, padahal
sekolah sebagai sistem hendaknya melihat dari sisi input, proses, dan output,
(3) model MBS dianggap tetap dan sesuai dengan jiwa otonomi daerah yang tengah
diterapkan saat ini, dan (4) lebih memberikan kesempatan dan kebebasan pada
sekolah dan stakeholder dalam mengembangkan sekolah dengan kondisi dan
potensidaerah masing – masing.
Pada pasal 54 UUSPN mengatur
peran serta masyarakat, yaitu (a) peran serta masyarakat dalam pendidikan
meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi,
pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan, dan (b) masyarakat dapat berperan serta sebagai
sumber, pelaksanaan, dan penggunaan hasil pendidikan.
Dalam rangka mewujudkan visi
misi sekolah sesuai dengan prinsip MBS, maka sekolah perlu memberdayakan
masyarakat dan lingkungan secara optimal. Hal ini penting karena sekolah
memerlukan masukan dari masyarakat dalam menyusun program yang relevan, sekaligus
memerlukan dukungan masyarakat dalam melaksanakan program tersebut. Disisi lain
masyarakat memerlukan jasa sekolah untuk mendapatkan program – program
pendidikan sesuai dengan yang diinginkan. Oleh karena itu, sekolah berkewajiban
memberi penerangan tentang tujuan – tujuan, dan program sekolah sehingga sesuai
dengan harapan dan kebutuhan masyarakat terhadapa sekolah. Dengan kata lain,
antara sekolah dan masyarakat harus
dibina dan dikembangkan suatu hubungan yang harmonis yang akan memberikan
kontribusi yang lebih baik terhadap pengembangan pendidikan sehingga dapat
meningkatkan kualitas pendidikan pada sekolah.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah pengertian kebijakan pendidikan?
2. Apakah fungsi kebijakan dan pendidikan?
3. Apa saja karakteristik kebijakan pendidikan?
4. Bagaimana implementasi kebijakan pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian kebijakan pendidikan.
2. Untuk mengetahui fungsi kebijakan dan pendidikan
3. Untuk mengetahui karakteristik kebijakan
pendidikan.
4. Untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan pendidikan di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kebijakan Pendidikan
1.
Kebijakan
Kebijakan (policy)
seringkali disamakan dengan istilah seperti politik,program, keputusan,
undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana
strategis.
Sebenarnya dengan adanya
definisi yang sama dikalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat
yang mengetahui tentang hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang
kaku. Namun, untuk lebih memperjelasnya bagi semua orang yang akan berkaitan
dengan kebijakan, maka alangkah baiknya definisi policy haruslah
dipahamkan.
Berikut adalah definisi kebijakan.
a)
United Nations (1975) : Suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak,
suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas –aktivitas
tertentu atau suatu rencana(Wahab, 1990).
b)
James E. Anderson (1978) : perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi
pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Wahab,
1990).
c)
Prof. Heinz Eulau dan
Kenneth Prewitt : a standing
decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part
of both those who make it and those who abide by it (Jones, 1997).
2.
Kebiajakan Pendidikan
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana
adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan berikut ini.
Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan
menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara.
Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational
policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan
beberapa penilaian atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan
tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat
melembaga.
Dapat disimpulakan bahwa
kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan
pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan
lingkugan hidup pendidikan secara moderat.
B. Fungsi Kebijakan dan Pendidikan
Faktor yang
menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah
terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan
tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa
keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format
kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf,
dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan
diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy
making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian
dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses
pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan),
proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada
pembuat kebijakan.
Sedangkan Pendidikan adalah
tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah. Dengan
dasar kata – kata bijak itu, maka perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi
beban bersama orang tua, Masyarakat dan pemerintah. Dalam Undang – undang no 20
tahun 2003 tentang Sistem pendidikam nasional disrbutkan beberapa peran yang
dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan dibuat
untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan
atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak
bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.
C. Karakteristik Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan
memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1.
Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus
memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan
yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
2.
Memenuhi aspek
legal-formal
Kebijakan pendidikan
tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang
harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku
untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat
konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah
hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga,
dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan
sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat
operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk
memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan
akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4.
Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu
harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu,
sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di
luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga
pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah
unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5.
Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu
pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti.
Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung
kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki
karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
6.
Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan
tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika
yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu
pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi
agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh
strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu
sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya
kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara
eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya;
kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya
atau disamping dan dibawahnya.
D.
Implementasi Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu
setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan
minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi,
suku, etnis, agama, dan gender. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan
kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi
dan sosial ataupun kendala geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan
untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau.
Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia
merupakan program besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena
jumlah penduduk yang luar biasa dan posisinya tersebar ke berbagai pulau.
Ditambah lagi Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis dan sangat
pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang beragam. Hal ini menuntut
adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga mampu memenuhi
kebutuhan seluruh rakyat.
Sistem pendidikan semacam itu tidak mungkin dipenuhi tanpa adanya
suatu perencanaan pendidikan nasional yang handal. Perencanaan itu juga bukan
perencanaan biasa, tetapi suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi
perubahan kebutuhan dan tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan
global. Globalisasi yang menjangkau seluruh bagian bumi membuat Inonesia tidak
bisa terisolasi. Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi, membuat
segala hal yang terjadi di dunia internasional berpengaruh juga berpengaruh ke
Indonesia.
Dalam
mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari
implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh
pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan.
Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut
merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus
sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan. Tanggung jawab pengelolaan
pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh sekolah dan masyarakat
dalam rangka mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat yang paling dekat
dengan peserta didik. MBS ini sekaligus memperkuat kehidupan berdemokrasi
melalui desentralisasi kewenangan, sumber daya dan dana ke tingkat sekolah
sehingga sekolah dapat menjadi unit utama peningkatan mutu pembelajaran yang
mandiri (kebijakan langsung, anggaran, kurikulum, bahan ajar, dan evaluasi).
Program MBS sendiri merupakan program nasional sebagaimana yang tercantum dalam
Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 51 (1):
“Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah”
Dalam konteks,
MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif, kreatif, dalam mengatasi
tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat yang sama mampu
menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus meningkatkan diri.
Tujuan utama
MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan
efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada,
partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan
mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan sekolah,
peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan
suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi
masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu dan peduli terhadap masalah
pendidikan. Implikasinya adalah pemberian kewenangan yang lebih besar kepada
kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan
potensi dan kebutuhan daerahnya. Juga, melakukan perubahan kelembagaan untuk
memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perencanaan dan
pelaksanaan, serta memberdayakan sumber daya manusia, yang menekankan pada
profesionalisme.
Berikut TIGA PILAR MBS (Manajemen Berbasis Sekolah):
1. Manajemen Sekolah
a)
Kepala sekolah dan masyarakat sekolah dituntut
untuk menerapkan pengelolaan/manajemen sekolah yang transparan, akuntabel dan
partisipatif
b)
Kepala sekolah dan stafnya didorong berinovasi dan
berimprovisasi agar menjadi kreatif dan berprakarsa.
c)
Kepala sekolah dan masyarakat sekolah menjadikan
sekolah sebagai tempat perubahan.
2. Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan
a)
Kepala sekolah dan guru harus memahami konsep
belajar dan cara belajar anak dan memandang anak sebagai individu yang unik
yang mempunyai kemampuan yang berbeda.
b)
Proses pembelajaran didesain dengan memanfaatkan
organisasi kelas agar guru dan siswa menjadi Aktif dan Kreatif yang mendukung
terciptanya pembelajaran yang Efektif namun tetap Menyenangkan (PAKEM).
3. Peran Serta Masyarakat
a)
Menggali inisiatif, prakarsa, dukungan, dan
kontribusi masyarakat untuk pendidikan sekolah.
b)
Masyarakat terlibat dan merasa memiliki sekolah.
c)
Sekolah yang paling berhasil & diminati
masyarakat adalah sekolah yang kepala sekolah, guru, dan masyarakatnya
bekerjasama secara aktif mengembangkan sekolah.
Bentuk-bentuk peran serta masyarakat termasuk:
d)
Menggunakan jasa sekolah;
e)
Memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga;
f)
Membantu anak belajar di rumah;
g)
Berkonsultasi masalah pendidikan anak;
h)
Terlibat dalam kegiatan ekstra kurikuler;
i)
Pembahasan kebijakan sekolah.
Pelaksanaan MBS
memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah
tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu,
tujuan yang telah ditetapkan sebagai konkretisasi visi dan misi organisasi
dapat dicapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan keperluannya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebijakan (policy)
seringkali disamakan dengan istilah seperti politik,program, keputusan, undang-undang, aturan,
ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.
Kebijakan pendidikan
adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan
situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum
untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan
bisa dicapai.
Kebijakan
diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy
making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian
dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses
pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan),
proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada
pembuat kebijakan.
Fungsi kebijakan
pendidikan yaitu kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak,
mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan
masyarakat dan pemerintah untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Dengan
kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan
keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.
Kebijakan pendidikan
memiliki karakteristik yang khusus, yakni: 1) Memiliki tujuan pendidikan . Kebijakan pendidikan harus
memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan
yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan, 2) Memenuhi aspek
legal-formal. Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya
pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu
diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah, 3) Memiliki konsep operasional. Kebijakan pendidikan
sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat
operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk
memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai, 4) Dibuat oleh yang berwenang. Kebijakan pendidikan itu
harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu,
sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di
luar pendidikan, 5) Dapat dievaluasi. Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari
keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti, 6) Memiliki sistematika. Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya
harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin
diatur olehnya.
B.
Saran
Dalam konteks pembangunan daerah, pendidkan
seharusnya mampu memberikan respon yang baik terhadap tuntutan pembangunan dan
aspirasi masyarakat yang dilayaninya. Ini berarti, bahwa perumusan kebijakan
pendidikan hendaknya memperhatikan aspirasi yang berkembang di daerah
tersebut. Dan berarti dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah, pihak – pihak yang berkepentingan dengan
sekolah itu seperti orang tua dan masyarakat setempat, sepatutnya memiliki
akses terhadap perumusan kebijakan pendidikan untuk kepentingan memajukan
pendidikan.
Dalam
mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari
implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh
pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan.
Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut
merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus
sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan.
DAFTAR RUJUKAN
Imron,Ali. 2008. Kebijakan Pendidikan Di
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Gunawan, H. Ary,.1986.Kebijakan-kebijakan
Pendidikan di Indonesia ,
Jakarta :
Bina Aksara.
Roskina Mas, Sitti.
2011. Jurnal : Partisipasi Masyarakat dan Orang Tua dalam
Penyelenggaraan
Pendidikan. Volume 23, nomor 3, Maret 2011. Malang: Universitas Negeri
Malang Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Manajemen Pendidikan.
118.98.166.62/.../PAPARAN%20DI%20KEMKUMHAM%20081110.pdf
Sunandar,satrio.2012.Perencanaan Strategik.(online)
http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2012/04/perencanaan-strategik dan.html#!/2012/04/perencanaan-strategik-dan.html
Oktajesi. 2011. Kebijakan Pendidikan di
Indonesia. (online)
http://oktaseiji.wordpress.com/2011/04/24/kebijakan-pendidikan-di-indonesia/ Diakses tanggal 20 januari 2013.
fathulmustaqim.2011.Kebijakan Pendidikan di
Indonesia. (online)
http://fathulmustaqim.blogspot.com/2011/09/kebijakan-pendidikan-di-indonesia.html Diakses tanggal 25 januari 2013.
Rahardjo, Mudjia. 2010. Pengantar Analisis
Kebijakan Pendidikan. (online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar