BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsep legitimasi merupakan konsep
lama yang pertama dikenalkan oleh Weber, yaitu tentang bagaimana peran
legitimasi dalam kehidupan sosial, khususnya pada terbentuk dan bertahannya
wewenang yang berkaitan
dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan. Artinya apakah masyarakat menerima
dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang
mengikat masyarakat ataukah tidak. Apabila masyarakat menerima dan mengakui hak
moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat
masyarakat maka kewenangan itu dikategorikan sebagai berlegitimasi. Maksudnya,
legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral
pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan suatu keputusan.
Secara
etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin “lex” yang berarti hukum. Kata legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti
legalitas, legal dan legitim. Jadi secara sederhana legitimasi adalah kesesuaian suatu tindakan
perbuatan dengan hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan
hukum formal, etis, adat istiadat maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama
tercipta secara sah. Pada bab ini kami akan membahas mengenai legitimasi
kebijaksanaan pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi dari
legitimasi kebijakan pendidikan?
2.
Apa alasan-alasan
perlunya legitimasi ?
3.
Apa sajakah batasan
legitimasi kebijakan pendidikan?
4. Bagaimanakah
proses legitimasi kebijakan pendidikan?
5. Seperti
apa krisis dari legitimasi kebijakan pendidikan?
6. Apa
problema-problema legitimasi?
C. Tujuan
1.
Mengetahui dan memahami
pengertian dari legitimasi kebijakan pendidikan.
2.
Mengetahui dan memahami
alasan-alasan perlunya legitimasi.
3.
Mengetahui batasan
legitimasi kebijakan pendidikan.
4. Mendeskripsikan
proses legitimasi kebijakan pendidikan.
5. Mengetahui
krisis di dalam legitimasi.
6. Memahami
problema-problema legitimasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Legitimasi Kebijakan Pendidikan
Legitimasi
adalah prinsip yang menunjukkan penerimaan keputusan pemimpin pemerintah dan
pejabat oleh (sebagian besar) publik atas dasar bahwa perolehan para pemimpin
'dan pelaksanaan kekuasaan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku pada
masyarakat umum dan nilai-nilai politik atau moral. Legitimasi mungkin akan
diberikan kepada pemegang kekuasaan dalam berbagai cara dalam masyarakat yang
berbeda, biasanya melibatkan ritual formal serius yang bersifat religius atau
non-religius, misalnya kelahiran kerajaan dan penobatan di monarki, pemilihan
umum dan "sumpah" dalam demokrasi dan seterusnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Gray bahwa legitimasi merupakan
sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan
masyarakat (society),pemerintah individu dan kelompok masyarakat
Legitimasi
dianggap penting bagi pemimpin pemerintahan, karena para pemimpin pemerintahan
dari setiap sistem politik berupaya keras untuk mendapatkan atau
mempertahankannya. Dengan adanya legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin
dapat menimbulkan kestabilan politik dan memungkinkan terjadinya perubahan
sosial dan membuka kesempatan yang semakin besar bagi pemerintah untuk tidak
hanya memperluas bidang-bidang kesejahteraan yang hendak ditangani, tetapi juga
untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan.
Legitimasi
juga merupakan konsep yang menimbulkan hubungan antara pemimpin dan yang
dipimpin. Legitimasi dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit, dalam
arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap sistem politik, sedangkan dalam
arti sempit merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang.
Antara kekuasaan normatif dan kualitas pribadi berkaitan erat dengan
legitimasi.
Legitimasi
juga merupakan suatu tindakan perbuatan hukum yang berlaku, atau peraturan yang
ada, baik peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat, maupun hukum
kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah. Jadi, dalam legitimasi
kekuasaan, bila seorang pemimpin menduduki jabatan dan memiliki kekuasaan
secara legitimasi (legitimate power) adalah bila yang bersangkutan
dianggap absah memangku jabatannya dan menjalankan kekuasaannya.
Kebijakan
pendidikan dapat dikategorikan sebagai
kebijakan publik di bidang pendidikan yang ditujukan untuk mencapai
tujuan pembangunan negara dan bangsa di bidang pendidikan. Kebijakan
pendidikan pada hakikatnya berupa keputusan yang subtansinya adalah tujuan,
prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan
untuk dipedomani oleh pimpinan, staf dan personel organisasi, serta interaksinya
dengan lingkungan eksternal. Wujud dari kebijakan pendidikan ini biasanya
berupa undang-undang pendidikan, intruksi, peraturan pemerintah, keputusan
pengadilan, peraturan menteri, dan sebagainya menyangkut pendidikan. Pelaksanaan kebijaksanaan itu bertujuan
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri
serta bersama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
B.
Alasan-Alasan
Perlunya Legitimasi
Tujuan legitimasi adalah untuk
memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi
dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan
mengikuti arahan pemerintah. Legitimasi dilakukan diantara kegiatan perumusan
dan pelaksanaan kebijaksanaan. Sebelum kebijaksanaan pendidikan yang telah disusun
dalam proses perumusan dilaksanakan, terlebih dulu dilegitimasikan. Hal
tersebut dikarenakan hasil rumusan-rumusan kebijaksanaan tersebut perlu
mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Dan, pengakuan tersebut dilakukan oleh
masyarakat lazimnya melalui lembaga-lembaga perwakilan masyarakat. Pengakuan
dari masyarakat sangat penting mengingat suatu pelaksanaan kebijaksanaan
pendidikan pastilah melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan. Semakin banyak masyarakat yang berpartisipasi
secara aktif dalam pelaksanaannya, maka kebijaksanaan tersebut dinilai semakin
sukses.
Bentuk
pengakuan masyarakat atas kebijaksanaan, antara lain melalui pengabsahan.
Pengabsahan adalah suatu proses di mana kebijaksanaan-kebijaksanaan pendidikan
yang telah dirumuskan tersebut diabsahkan. Dengan demikian, setelah rumusan
kebijaksanaan tersebut absah, berarti kebijaksanaan tersebut dinyatakan dapat
diberlakukan. Otorisasi kebijaksanaan pendidikan adalah bentuk lain dari
legitimasi. Sedangkan yang dimaksud dengan otorisasi adalah memberikan
kewenangan untuk memberlakukan kebijaksanaan. Dari otorisasi atau kewenangan
inilah maka muncul tanggung jawab untuk melaksanakan. Dengan demikian, mereka
yang diberi kewenangan untuk melaksanakan tersebut, sekaligus juga dimintai
pertanggungjawaban atas hasil pelaksanaan kewenangannya.
Manfaat
dari legitimasi antara lain:
1.
Menciptakan stabilitas politik dan perubahan sosial.
2.
Mengatasi masalah lebih cepat.
3.
Mengurangi penggunaan saran kekerasan fisik.
4.
Memperluas bidang kesejahteraan atau meningkatkan kualitas kesejahteraan.
C.
Batasan
Legitimasi Kebijakan Pendidikan
Legitimasi
berasal dari kata legitimacy yang
berarti: memberi kuasa atau kewenangan (otorisasi) pada dasar bekerjanya sistem
politik, termasuk proses penyusunan perencanaan, usul untuk memecahkan
problema-problema yang timbul di masyarakat. Menurut Silalahi dalam Ali Imron
(Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, 2002:53). Legitimasi juga berasal dari
kata legitimation yang berarti: suatu proses spesifik dimana program-program
pemerintah diotorisasikan atau diabsahkan.
Legitimasi
mengandung dua makna, yang pertama menyangkut pemberian kewenangan untuk
memberikan usulan atas suatu kegiatan (legitimacy)
dan yang kedua menyangkut pemberian kewenangan untuk melaksanakan
program-program yang diusulkan (legitimation).
Oleh karena legitimacy memberikan
kewenangan untuk usul, dan legitimation memberikan
kewenangan untuk melaksanakan, maka legitimacy
dilakukan terlebih dahulu dan baru kemudian legitimation.
Dalam konteks ini legitimasi
berperan untuk memberi pengakuan bahwa setiap kebijakan yang diputuskan
nantinya adalah yang terbaik untuk kepentingan masyarakat di mana kebijakan itu
disahkan.
Kadar Legitimasi
a. Pra legitimasi, ada dalam pemerintahan
yang baru terbentuk yang meyakini memiliki kewenangan tapi sebagian kelompok
masyarakat belum mengakuinya
b. Berlegitimasi, yaitu ketika
pemerintah bisa meyakinkan masyarakat dan masyarakat menerima dan mengakuinya.
c. Tak berlegitimasi, ketika pemimpin
atau pemerintah gagal mendapat pengakuan dari masyarakat tapi pemimpin tersebut
menolak untuk mengundurkan diri, akhirnya muncul tak berlegitimasi. Untuk
mempertahankan kewenangannya biasanya digunakan cara-cara kekerasan.
d. Pasca legitimasi, yaitu ketika dasar
legitimasi sudah berubah.
D. Proses Legitimasi
Kebijakan Pendidikan
Setelah
kebijakan berhasil diformulasikan, sebelum diterapkan pada masyarakat,
kebijakan tersebut haruslah memperoleh legitimasi (pengesahan) atau kekuatan
hukum yang mengatur penerapan (implementasi) kebijakan pada masyarakat.
Legitimasi sangat penting karena akan membawa pengaruh terhadap masyarakat
banyak, baik yang menguntungkan bagi sebagian masyarakat maupun yang membawa
dampak yang merugikan kelompok lain. Selain itu setiap kebijakan juga membawa
implikasi terhadap anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah. Pada umumnya
wewenang melakukan legitimasi dimiliki oleh pemerintah atau badan legislatif.
Namun kalau dikaji lebih mendalam, bahwa proses legitimasi tersebut tidak dapat
dipisahkan dari hubungan antara negara dan rakyat sebagai sumber legitimasi
yang paling utama, sebab ukuran legitimasi yang dimiliki oleh pemerintah sangat
tergantung pada tersedianya dukungan bagi pemerintah dan apa yang ingin
diperoleh dari masyarakat.
Adapun cara-cara yang digunakan
untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu:
1. Simbolis yaitu dengan cara
menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat dalam bentuk simbol-simbol seperti
kepribadian yang baik, menjunjung tinggi nilai- budaya dan tradisi. Contoh;
upacara kenegaraan, pementasan wayang, pengidentifikasian diri dengan kelompok
mayoritas (misalnya agama tertentu) merupakan sejumlah contoh penggunaan
simbol-simbol yang bersifat ritualistik.
2. Prosedural yaitu menjanjikan
kesejahteraan materiil kepada rakyat, seperti fasilitas pendidikan dan
kesehatan lebih baik, kesempatan kerja lebih besar, menjamin tersedianya
pangan yang dibutuhkan rakyat, menjanjikan sarana
produksi pertanian, sarana komunikasi dan transportasi, serta modal yang
memadai.
3. Materiil yaitu dengan cara
mengadakan pemilihan umum untuk menentukan para wakil rakyat, perdana menteri,
presiden, dan sebagainya. Para anggota lembaga tinggi negara atau referendum
untuk mengesahkan suatu kebijakan umum.
Pada umumnya, pemimpin pemerintahan
yang mendapatkan legitimasi berdasarkan prinsip-prinsip legitimasi tradisional,
ideologi, dan kualitas pribadi cenderung menggunakan metode simbolik.
Menurut
Andrain berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap
pemerintah maka legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu:
1.
Legitimasi tradisional: masyarakat memberikan pengakuan dan
dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin ”berdarah
biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat.
2.
Legitimasi ideologi: masyarakat memberikan dukungan kepada
pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan
pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksudkan tidak hanya yang doktriner
seperti komunisme, tetapi juga yang pragmatis seperti liberalisme dan ideologi
pancasila.
3.
Legitimasi kualitas pribadi: masyarakat memberikan pengakuan dan
dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi
berupa kharismatik maupun penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam
bidang tertentu.
4.
Legitimasi prosedural:
masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena
pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
5.
Legitimasi instrumental: masyarakat memberikan pengakuan dan
dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin
kesejahteraan materiil (instrumental) kepada masyarakat.
Dalam kehidupan nyata biasanya para
pemimpin pemerintahan tidak hanya menggunakan satu tipe, tetapi juga
mengkombinasikan dari dua tipe atau lebih sesuai dengan struktur dan tingkat
perkembangan masyarakatnya.
Ada
kalanya suatu kebijaksanaan yang telah dirumuskan, dimintakan pendapat secara
langsung kepada rakyat, dan rakyat diminta memberi dukungan. Tetapi, ada
kalanya, dukungan tersebut dimintakan oleh pengurus kebijaksanaan kepada
tokoh-tokoh non formal atau kunci di masyarakat. Dengan harapan, tokoh kunci
atau non formal itulah, yang akan mencari dukungan kepada massa atau rakyat
kebanyakan.
Tokoh-tokoh
kunci atau non formal tersebut ada di berbagai bidang agama, profesi, budaya
dan seni, ekonomi, pertanian dan bahkan sektor-sektor ekonomi dan jasa.
Tokoh-tokoh non formal ini, meski tidak menduduki jabatan apa pun di
pemerintahan, umumnya mempunyai massa banyak dan menaruh kepercayaan yang besar
terhadap tokohnya. Bahkan dalam hal-hal tertentu, sesuatu yang dikemukakan oleh
tokoh kunci tersebut, diterima dengan lapang hati oleh rakyatnya.
Di
negara-negara yang menganut sistem pemerintahan liberal, prinsip yang
dipedomani berkenaan dengan legitimasi ini adalah koalisi, dengan doktrin: mayority-coalation-building. Doktrin ini
dianggap praktis, oleh karena apa yang disuarakan oleh orang yang lebih banyak
itu dipandang sebagai suara orang banyak, dan oleh karena itu harus didukung
dan disahkan. Sungguh pun demikian, presiden khususnya di Amerika Serikat,
masih mempunyai hak veto terhadap suara mayoritas rakyat yang dikemukakan
melalui wakil-wakilnya di parlemen. Sebab, suara parlemen, yang dianggap
pencerminan dari rakyat tersebut, tidak mungkin mencerminkan 100% suara rakyat.
Di
negara kita, voting dengan menggunakan suara terbanyak dianggap sebagai jalan
terakhir, jika tidak mungkin dicapai kesepakatan. Musyawarah yang dilakukan oleh para wakil
rakyat tersebut diupayakan agar tercapai kemufakatan. Dengan demikian, tak ada
kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam permusyawaratan. Upaya-upaya
banyak dilakukan agar kemufakatan ini bisa dicapai, misalkan dengan saling
mengadakan lobi.
Kebijaksanaan
yang telah diformulasikan dan disahkan secara formal tersebut, ternyata
bukanlah sesuatu yang sudah final. Masih memungkinkan adanya revisi, perbaikan,
dan penyempurnaan. Dan legitimasi tersebut dilakukan antara lain juga dalam
rangka menyempurnakan, agar ketika dilaksanakan nantinya tidak mengalami
hambatan. Sebab, dengan legitimasi ini, rakyat akan menyatakan dukungan oleh
karena sesuai dengan aspirasi dan harapannya. Kegiatan legitimasi adalah
mencari dukungan sekaligus menyempurnakan kebijaksanaan, sedangkan hasil akhir
legitimasi adalah rumusan kebijaksanaan yang sudah sah dan dianggap final.
E. Krisis Legitimasi
Suatu
legitimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga
yang
memiliki legitimasi itu tidak memiliki kecakapan (skill) yang cukup
untuk
melakukan pengelolaan (manajemen) Negara secara keseluruhan.
Dalam
hal ini legitimasi perlu diikuti oleh kapabilitas dan kapasitas untuk
menimplementasikan
program yang langsung menyentuh rakyat, rakyat
sebagai
pemegang legitimasi tertinggi, keamanan dan kesejahteraan rakyat
adalah
ukuran utama dalam menilai kemampuan legitimasi kapabilitas
pemerintahan.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang
legitimated
tidak selalu berbanding lurus dengan
kecakapannya.
Krisis
legitimasi biasanya terjadi pada masa transisi. Selain itu, perubahan yang
terjadi dari suatu tingkat dan kualitas perkembangan menuju ke tingkat dan
kualitas perkembangan masyarakat berikutnya. Masyarakat semacam ini akan
cenderung mempertanyakan setiap kewenangan yang dianggap tidak mencerminkan
aspirasi hidup dalam masyarakat. Lucyan Pye menyebutkan empat sebab krisis
legitimasi:
1. Pertama, prinsip kewenangan beralih
pada prinsip kewenangan yang lain.
2. Kedua, persaingan yang sangat tajam
dan tak sehat tetapi juga tak disalurkan melalui prosedur yang seharusnya
diantara para pemimpin pemerintahan sehingga terjadi perpecahan dalam tubuh
pemerintah.
3. Ketiga, pemerintah tak mampu
memenuhi janjinya sehingga menimbulkan kekecewaan dan keresahan di kalangan
masyarakat.
4. Keempat, sosialisasi tentang
kewengan mengalami perubahan.
Krisis
legitimasi akan semakin gawat manakala pihak yang berwenang tidak tanggap atas
perubahan sikap terhadap kewenangan dalam masyarakat
F.
Problema-Problema
Legitimasi
Ada
banyak problema dalam pelaksanaan legitimasi kebijaksanaan pendidikan.
Problema-problema tersebut yang pertama, terdapatnya resistensi dari eks aktor
kebijaksanaan yang kini tidak menjadi aktor lagi. Ada semacam kecenderungan, bahwa eks
aktor-aktor kebijaksanaan tersebut, masih mempunyai anggapan bahwa apa yang
dulunya ia rumuskan, bahkan telah dilaksanakan dapat dipertahankan hingga kini.
Kedua,
terdapat resistensi dari kelompok konservatif atas kebijaksanaan yang baru saja
dirumuskan. Ini jika kebijaksanaan yang telah dirumuskan tersebut berbeda
dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan sebelumnya yang sudah dianggap mentradisi.
Sesuatu yang sudah mentradisi umumnya memang sulit diubah, dan jika bermaksud
untuk mengubahnya, pada masyarakat yang konservatif, dibutuhkan waktu lama.
Ketiga,
sebagai akibat dari adanya resistensi kelompok konservatif dan eks aktor
kebijaksanaan yang tidak lagi menjadi aktor, terbawa serta para
pengikutnya. Para pengikut ini, umumnya
juga berkecenderungan mengikuti gerak dan langkah pemimpinnya. Oleh karena itu
proses legitimasi menjadi terhambat, atau setidak-tidaknya membutuhkan waktu
lama.
Keempat,
terdapatnya resistensi dari kelompok yang punya visi, persepsi dan kepentingan
yang berbeda dengan para perumus dan legitimator kebijaksanaan. Kelompok resisten
demikian, umumnya sulit diajak komproni, jika tidak berhasil didekati. Oleh
karena itu, legitimator harus berusaha mendekati kelompok ini, agar mereka
dapat bersama-sama memberikan dukungan terhadap kebijaksanaan yang telah
dirumuskan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dengan
adanya legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dapat menimbulkan
kestabilan politik dan memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan membuka
kesempatan yang semakin besar bagi pemerintah untuk tidak hanya memperluas
bidang-bidang kesejahteraan yang hendak ditangani, tetapi juga untuk
meningkatkan kualitas kesejahteraan, dalam konteks ini kesejahteraan dalam
bidang pendidikan. Legitimasi sangat penting karena
akan membawa pengaruh terhadap masyarakat banyak, baik yang menguntungkan bagi
sebagian masyarakat maupun yang membawa dampak yang merugikan kelompok lain.
Selain itu setiap kebijakan juga membawa implikasi terhadap anggaran yang harus
dikeluarkan pemerintah. Pada umumnya wewenang melakukan legitimasi dimiliki
oleh pemerintah atau badan legislatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar