Senin, 29 April 2013

Analisis Kebijakan dan Pembuatan Keputusan: Legitimasi Kebijakan Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Konsep legitimasi merupakan konsep lama yang pertama dikenalkan oleh Weber, yaitu tentang bagaimana peran legitimasi dalam kehidupan sosial, khususnya pada terbentuk dan bertahannya wewenang yang berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan. Artinya apakah masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat ataukah tidak. Apabila masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat maka kewenangan itu dikategorikan sebagai berlegitimasi. Maksudnya, legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan suatu keputusan.
Secara etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin “lex” yang berarti hukum. Kata legitimasi  identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal dan legitim. Jadi secara sederhana  legitimasi adalah kesesuaian suatu tindakan perbuatan dengan hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etis, adat istiadat maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah. Pada bab ini kami akan membahas mengenai legitimasi kebijaksanaan pendidikan.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari legitimasi kebijakan pendidikan?
2.      Apa alasan-alasan perlunya legitimasi ?
3.      Apa sajakah batasan legitimasi kebijakan pendidikan?
4.      Bagaimanakah proses legitimasi kebijakan pendidikan?
5.      Seperti apa krisis dari legitimasi kebijakan pendidikan?
6.      Apa problema-problema legitimasi?

C. Tujuan
1.      Mengetahui dan memahami pengertian dari legitimasi kebijakan pendidikan.
2.      Mengetahui dan memahami alasan-alasan perlunya legitimasi.
3.      Mengetahui batasan legitimasi kebijakan pendidikan.
4.      Mendeskripsikan proses legitimasi kebijakan pendidikan.
5.      Mengetahui krisis di dalam legitimasi.
6.      Memahami problema-problema legitimasi.























BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Legitimasi Kebijakan Pendidikan
Legitimasi adalah prinsip yang menunjukkan penerimaan keputusan pemimpin pemerintah dan pejabat oleh (sebagian besar) publik atas dasar bahwa perolehan para pemimpin 'dan pelaksanaan kekuasaan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku pada masyarakat umum dan nilai-nilai politik atau moral. Legitimasi mungkin akan diberikan kepada pemegang kekuasaan dalam berbagai cara dalam masyarakat yang berbeda, biasanya melibatkan ritual formal serius yang bersifat religius atau non-religius, misalnya kelahiran kerajaan dan penobatan di monarki, pemilihan umum dan "sumpah" dalam demokrasi dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gray bahwa legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan masyarakat (society),pemerintah individu dan kelompok masyarakat
Legitimasi dianggap penting bagi pemimpin pemerintahan, karena para pemimpin pemerintahan dari setiap sistem politik berupaya keras untuk mendapatkan atau mempertahankannya. Dengan adanya legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dapat menimbulkan kestabilan politik dan memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan membuka kesempatan yang semakin besar bagi pemerintah untuk tidak hanya memperluas bidang-bidang kesejahteraan yang hendak ditangani, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan.
Legitimasi juga merupakan konsep yang menimbulkan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Legitimasi dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit, dalam arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap sistem politik, sedangkan dalam arti sempit merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang. Antara kekuasaan normatif dan kualitas pribadi berkaitan erat dengan legitimasi. Legitimasi juga merupakan suatu tindakan perbuatan hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat, maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah. Jadi, dalam legitimasi kekuasaan, bila seorang pemimpin menduduki jabatan dan memiliki kekuasaan secara legitimasi (legitimate power) adalah bila yang bersangkutan dianggap absah memangku jabatannya dan menjalankan kekuasaannya.
Kebijakan pendidikan dapat dikategorikan sebagai  kebijakan publik di bidang pendidikan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan negara dan bangsa di bidang pendidikan. Kebijakan pendidikan pada hakikatnya berupa keputusan yang subtansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan untuk dipedomani oleh pimpinan, staf dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal. Wujud dari kebijakan pendidikan ini biasanya berupa undang-undang pendidikan, intruksi, peraturan pemerintah, keputusan pengadilan, peraturan menteri, dan sebagainya menyangkut pendidikan. Pelaksanaan kebijaksanaan itu bertujuan menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

B.  Alasan-Alasan Perlunya Legitimasi
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Legitimasi dilakukan diantara kegiatan perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan. Sebelum kebijaksanaan pendidikan yang telah disusun dalam proses perumusan dilaksanakan, terlebih dulu dilegitimasikan. Hal tersebut dikarenakan hasil rumusan-rumusan kebijaksanaan tersebut perlu mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Dan, pengakuan tersebut dilakukan oleh masyarakat lazimnya melalui lembaga-lembaga perwakilan masyarakat. Pengakuan dari masyarakat sangat penting mengingat suatu pelaksanaan kebijaksanaan pendidikan pastilah melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan.  Semakin banyak masyarakat yang berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaannya, maka kebijaksanaan tersebut dinilai semakin sukses.
Bentuk pengakuan masyarakat atas kebijaksanaan, antara lain melalui pengabsahan. Pengabsahan adalah suatu proses di mana kebijaksanaan-kebijaksanaan pendidikan yang telah dirumuskan tersebut diabsahkan. Dengan demikian, setelah rumusan kebijaksanaan tersebut absah, berarti kebijaksanaan tersebut dinyatakan dapat diberlakukan. Otorisasi kebijaksanaan pendidikan adalah bentuk lain dari legitimasi. Sedangkan yang dimaksud dengan otorisasi adalah memberikan kewenangan untuk memberlakukan kebijaksanaan. Dari otorisasi atau kewenangan inilah maka muncul tanggung jawab untuk melaksanakan. Dengan demikian, mereka yang diberi kewenangan untuk melaksanakan tersebut, sekaligus juga dimintai pertanggungjawaban atas hasil pelaksanaan kewenangannya.

Manfaat dari legitimasi antara lain:
1.    Menciptakan stabilitas politik dan perubahan sosial.
2.    Mengatasi masalah lebih cepat.
3.    Mengurangi penggunaan saran kekerasan fisik.
4.    Memperluas bidang kesejahteraan atau meningkatkan kualitas kesejahteraan.

C.  Batasan Legitimasi Kebijakan Pendidikan
Legitimasi berasal dari kata legitimacy yang berarti: memberi kuasa atau kewenangan (otorisasi) pada dasar bekerjanya sistem politik, termasuk proses penyusunan perencanaan, usul untuk memecahkan problema-problema yang timbul di masyarakat. Menurut Silalahi dalam Ali Imron (Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, 2002:53). Legitimasi juga berasal dari kata legitimation yang berarti: suatu proses spesifik dimana program-program pemerintah diotorisasikan atau diabsahkan.
Legitimasi mengandung dua makna, yang pertama menyangkut pemberian kewenangan untuk memberikan usulan atas suatu kegiatan (legitimacy) dan yang kedua menyangkut pemberian kewenangan untuk melaksanakan program-program yang diusulkan (legitimation). Oleh karena legitimacy memberikan kewenangan untuk usul, dan legitimation memberikan kewenangan untuk melaksanakan, maka legitimacy dilakukan terlebih dahulu dan baru kemudian legitimation. Dalam konteks ini legitimasi berperan untuk memberi pengakuan bahwa setiap kebijakan yang diputuskan nantinya adalah yang terbaik untuk kepentingan masyarakat di mana kebijakan itu disahkan.

Kadar Legitimasi
a.  Pra legitimasi, ada dalam pemerintahan yang baru terbentuk yang meyakini memiliki kewenangan tapi sebagian kelompok masyarakat belum mengakuinya
b.  Berlegitimasi, yaitu ketika pemerintah bisa meyakinkan masyarakat dan masyarakat menerima dan mengakuinya.
c.  Tak berlegitimasi, ketika pemimpin atau pemerintah gagal mendapat pengakuan dari masyarakat tapi pemimpin tersebut menolak untuk mengundurkan diri, akhirnya muncul tak berlegitimasi. Untuk mempertahankan kewenangannya biasanya digunakan cara-cara kekerasan.
d.  Pasca legitimasi, yaitu ketika dasar legitimasi sudah berubah.

D.  Proses Legitimasi Kebijakan Pendidikan
Setelah kebijakan berhasil diformulasikan, sebelum diterapkan pada masyarakat, kebijakan tersebut haruslah memperoleh legitimasi (pengesahan) atau kekuatan hukum yang mengatur penerapan (implementasi) kebijakan pada masyarakat. Legitimasi sangat penting karena akan membawa pengaruh terhadap masyarakat banyak, baik yang menguntungkan bagi sebagian masyarakat maupun yang membawa dampak yang merugikan kelompok lain. Selain itu setiap kebijakan juga membawa implikasi terhadap anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah. Pada umumnya wewenang melakukan legitimasi dimiliki oleh pemerintah atau badan legislatif. Namun kalau dikaji lebih mendalam, bahwa proses legitimasi tersebut tidak dapat dipisahkan dari hubungan antara negara dan rakyat sebagai sumber legitimasi yang paling utama, sebab ukuran legitimasi yang dimiliki oleh pemerintah sangat tergantung pada tersedianya dukungan bagi pemerintah dan apa yang ingin diperoleh dari masyarakat.

Adapun cara-cara yang digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
1.    Simbolis yaitu dengan cara menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat dalam bentuk simbol-simbol seperti kepribadian yang baik, menjunjung tinggi nilai- budaya dan tradisi. Contoh; upacara kenegaraan, pementasan wayang, pengidentifikasian diri dengan kelompok mayoritas (misalnya agama tertentu) merupakan sejumlah contoh penggunaan simbol-simbol yang bersifat ritualistik.
2.    Prosedural yaitu menjanjikan kesejahteraan materiil kepada rakyat, seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan lebih baik,  kesempatan kerja lebih besar, menjamin tersedianya pangan yang dibutuhkan rakyat, menjanjikan sarana produksi pertanian, sarana komunikasi dan transportasi, serta modal yang memadai.
3.    Materiil yaitu dengan cara mengadakan pemilihan umum untuk menentukan para wakil rakyat, perdana menteri, presiden, dan sebagainya. Para anggota lembaga tinggi negara atau referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum.
Pada umumnya, pemimpin pemerintahan yang mendapatkan legitimasi berdasarkan prinsip-prinsip legitimasi tradisional, ideologi, dan kualitas pribadi cenderung menggunakan metode simbolik.
  Menurut Andrain berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maka legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu:
1.    Legitimasi tradisional: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan  pemimpin ”berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat.
2.    Legitimasi ideologi: masyarakat memberikan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksudkan tidak hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang pragmatis seperti liberalisme dan ideologi pancasila.
3.    Legitimasi kualitas pribadi: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa kharismatik maupun penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang tertentu.
4.    Legitimasi prosedural:  masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
5.    Legitimasi instrumental: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan materiil (instrumental) kepada masyarakat.
Dalam kehidupan nyata biasanya para pemimpin pemerintahan tidak hanya menggunakan satu tipe, tetapi juga mengkombinasikan dari dua tipe atau lebih sesuai dengan struktur dan tingkat perkembangan masyarakatnya.
Ada kalanya suatu kebijaksanaan yang telah dirumuskan, dimintakan pendapat secara langsung kepada rakyat, dan rakyat diminta memberi dukungan. Tetapi, ada kalanya, dukungan tersebut dimintakan oleh pengurus kebijaksanaan kepada tokoh-tokoh non formal atau kunci di masyarakat. Dengan harapan, tokoh kunci atau non formal itulah, yang akan mencari dukungan kepada massa atau rakyat kebanyakan.
Tokoh-tokoh kunci atau non formal tersebut ada di berbagai bidang agama, profesi, budaya dan seni, ekonomi, pertanian dan bahkan sektor-sektor ekonomi dan jasa. Tokoh-tokoh non formal ini, meski tidak menduduki jabatan apa pun di pemerintahan, umumnya mempunyai massa banyak dan menaruh kepercayaan yang besar terhadap tokohnya. Bahkan dalam hal-hal tertentu, sesuatu yang dikemukakan oleh tokoh kunci tersebut, diterima dengan lapang hati oleh rakyatnya.
Di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan liberal, prinsip yang dipedomani berkenaan dengan legitimasi ini adalah koalisi, dengan doktrin: mayority-coalation-building. Doktrin ini dianggap praktis, oleh karena apa yang disuarakan oleh orang yang lebih banyak itu dipandang sebagai suara orang banyak, dan oleh karena itu harus didukung dan disahkan. Sungguh pun demikian, presiden khususnya di Amerika Serikat, masih mempunyai hak veto terhadap suara mayoritas rakyat yang dikemukakan melalui wakil-wakilnya di parlemen. Sebab, suara parlemen, yang dianggap pencerminan dari rakyat tersebut, tidak mungkin mencerminkan 100% suara rakyat.
Di negara kita, voting dengan menggunakan suara terbanyak dianggap sebagai jalan terakhir, jika tidak mungkin dicapai kesepakatan.  Musyawarah yang dilakukan oleh para wakil rakyat tersebut diupayakan agar tercapai kemufakatan. Dengan demikian, tak ada kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam permusyawaratan. Upaya-upaya banyak dilakukan agar kemufakatan ini bisa dicapai, misalkan dengan saling mengadakan lobi.
Kebijaksanaan yang telah diformulasikan dan disahkan secara formal tersebut, ternyata bukanlah sesuatu yang sudah final. Masih memungkinkan adanya revisi, perbaikan, dan penyempurnaan. Dan legitimasi tersebut dilakukan antara lain juga dalam rangka menyempurnakan, agar ketika dilaksanakan nantinya tidak mengalami hambatan. Sebab, dengan legitimasi ini, rakyat akan menyatakan dukungan oleh karena sesuai dengan aspirasi dan harapannya. Kegiatan legitimasi adalah mencari dukungan sekaligus menyempurnakan kebijaksanaan, sedangkan hasil akhir legitimasi adalah rumusan kebijaksanaan yang sudah sah dan dianggap final.

E.  Krisis Legitimasi
Suatu legitimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga
yang memiliki legitimasi itu tidak memiliki kecakapan (skill) yang cukup
untuk melakukan pengelolaan (manajemen) Negara secara keseluruhan.
Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh kapabilitas dan kapasitas untuk
menimplementasikan program yang langsung menyentuh rakyat, rakyat
sebagai pemegang legitimasi tertinggi, keamanan dan kesejahteraan rakyat
adalah ukuran utama dalam menilai kemampuan legitimasi kapabilitas
pemerintahan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang
legitimated tidak selalu berbanding lurus dengan kecakapannya.
Krisis legitimasi biasanya terjadi pada masa transisi. Selain itu, perubahan yang terjadi dari suatu tingkat dan kualitas perkembangan menuju ke tingkat dan kualitas perkembangan masyarakat berikutnya. Masyarakat semacam ini akan cenderung mempertanyakan setiap kewenangan yang dianggap tidak mencerminkan aspirasi hidup dalam masyarakat. Lucyan Pye menyebutkan empat sebab krisis legitimasi:
1.    Pertama, prinsip kewenangan beralih pada prinsip kewenangan yang lain.
2.    Kedua, persaingan yang sangat tajam dan tak sehat tetapi juga tak disalurkan melalui prosedur yang seharusnya diantara para pemimpin pemerintahan sehingga terjadi perpecahan dalam tubuh pemerintah.
3.     Ketiga, pemerintah tak mampu memenuhi janjinya sehingga menimbulkan kekecewaan dan keresahan di kalangan masyarakat.
4.    Keempat, sosialisasi tentang kewengan mengalami perubahan.
Krisis legitimasi akan semakin gawat manakala pihak yang berwenang tidak tanggap atas perubahan sikap terhadap kewenangan dalam masyarakat

F.   Problema-Problema Legitimasi
Ada banyak problema dalam pelaksanaan legitimasi kebijaksanaan pendidikan. Problema-problema tersebut yang pertama, terdapatnya resistensi dari eks aktor kebijaksanaan yang kini tidak menjadi aktor lagi.  Ada semacam kecenderungan, bahwa eks aktor-aktor kebijaksanaan tersebut, masih mempunyai anggapan bahwa apa yang dulunya ia rumuskan, bahkan telah dilaksanakan dapat dipertahankan hingga kini.
Kedua, terdapat resistensi dari kelompok konservatif atas kebijaksanaan yang baru saja dirumuskan. Ini jika kebijaksanaan yang telah dirumuskan tersebut berbeda dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan sebelumnya yang sudah dianggap mentradisi. Sesuatu yang sudah mentradisi umumnya memang sulit diubah, dan jika bermaksud untuk mengubahnya, pada masyarakat yang konservatif, dibutuhkan waktu lama.
Ketiga, sebagai akibat dari adanya resistensi kelompok konservatif dan eks aktor kebijaksanaan yang tidak lagi menjadi aktor, terbawa serta para pengikutnya.  Para pengikut ini, umumnya juga berkecenderungan mengikuti gerak dan langkah pemimpinnya. Oleh karena itu proses legitimasi menjadi terhambat, atau setidak-tidaknya membutuhkan waktu lama.
Keempat, terdapatnya resistensi dari kelompok yang punya visi, persepsi dan kepentingan yang berbeda dengan para perumus dan legitimator kebijaksanaan. Kelompok resisten demikian, umumnya sulit diajak komproni, jika tidak berhasil didekati. Oleh karena itu, legitimator harus berusaha mendekati kelompok ini, agar mereka dapat bersama-sama memberikan dukungan terhadap kebijaksanaan yang telah dirumuskan.













BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Dengan adanya legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dapat menimbulkan kestabilan politik dan memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan membuka kesempatan yang semakin besar bagi pemerintah untuk tidak hanya memperluas bidang-bidang kesejahteraan yang hendak ditangani, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan, dalam konteks ini kesejahteraan dalam bidang pendidikan. Legitimasi sangat penting karena akan membawa pengaruh terhadap masyarakat banyak, baik yang menguntungkan bagi sebagian masyarakat maupun yang membawa dampak yang merugikan kelompok lain. Selain itu setiap kebijakan juga membawa implikasi terhadap anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah. Pada umumnya wewenang melakukan legitimasi dimiliki oleh pemerintah atau badan legislatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar