BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara umum kebijakan adalah suatu proses yang sangat panjang
dankepentinganyang beragam. Di dalamnya terdapat ketetapan-ketetapan yang
memuatprinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat
secaraterencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.Kebijakan merupakan suatu keputusan
yang diambil bersama demi kepentingan bersama.Adanya kebijakan bertujuan agar
misi yang telah diharapkan dapat terwujud sebagaimana mestinya.
Kebijakan
salah satunya yaitu kebijakan pendidikan di negara berkembang.Kebijakan
pendidikan di negara berkembang penting untuk dipelajarai, karena salah satu negara
berkembang yaitu Negara Indonesia.Negara
berkembang adalah sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang rendah,
infrastruktur yang relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang
kurang dibandingkan dengan norma global.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian kebijakan
pendidikan?
2.
Apa kriteria kebijakan pendidikan?
3.
Apa pengertian Negara berkembang?
4. Apakebijakan
pendidikan di negara-negara berkembang?
5.
Bagaimana masalah umum pendidikan di negara berkembang?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian kebijakan
pendidikan
2.
Mengetahui kriteria kebijakan
pendidikan
3.
Mengetahui pengertian Negara berkembang
4. Mengetahuikebijakan
pendidikan di negara-negara berkembang
5.
Mengetahui masalah umum pendidikan di negara berkembang
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kebijakan Pendidikan
Menurut
Ali Imron dalam
bukunya Kebijakan Pendidikan di Indonesia mengemukakanpengertian kebijakan dari
beberapa ahli, diantaranya:
1. Laswell (1970)
,Kebijakan
sebagai suatu program pencapaian tujuan,nilai-nilai dan praktik yang terarah (a projected program of goals value
andpracties).
2. Anderson
(1979), Kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuantertentu
yang mesti diikuti dan diakukan para
pelakunya untuk memecahkan suatumasalah. (a
purposive corse of problem or matter of concern).
3. Helco (1977),
memberikan batasan kebijakan sebagai cara bertindak yang
sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah.
sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah.
4. Amara Raksasa
Taya (1976) memberikan batasan kebijakan sebagai suatutaktikatau strategi yang
diarahkan untuk mencapai tujuan.
5. Friedrik (1963)
memberikan batasan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diajukan oleh seseorang, grup dan
pemerintahan dalamlingkungan tertentudengan mencantumkan kendala-kendala yang
dihadapi serta kesempatan yangmemungkinkan pelaksanaan usulan tersebut dalam
upaya mencapai tujuan. (aproposes course
of action of a person, group, or govermen with is givenenvironment providing
abtacles and aportunities withthe policy was proposed toutilize on objective or
purpose).
Dari banyak pengertian tentang kebijakan di atas banyak
pemaparan yang samayaitu gambaran bahwa kebijakan adalah suatu proses yang sangat panjang
dankepentinganyang beragam. Di dalamnya terdapat ketetapan-ketetapan yang
memuatprinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat
secaraterencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan
menjelaskan bahwakebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara.
Carter V Good (1959)memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai
suatupertimbangan yang didasarkan atas system
nilai dan beberapa penilaian atasfaktor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan
tersebut dijadikan sebagaidasar untuk mengopersikan pendidikanyang bersifat
melembaga. Pertimbangantersebut merupakan perencanaan yang dijadikansebagai
pedoman untuk mengambilkeputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa
tercapai.
B.
Kriteria Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus,
yakni :
1. Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki
tujuan pendidikan, namun lebih khusus, bahwa kebijakan pendidikan harus
memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi
pada pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal – formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan
diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra – syarat yang harus dipenuhi
agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk semua
wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai
dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah sehingga dapat
dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut dan dapat dimunculkan
suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah
panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar
dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas
pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan
kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus
dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga
tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan.Para administrator pendidikan,
pengelola lembaga pendidikan, dan para politisi yang berkaitan langsung dengan
pendidikan adalah unsur – unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itupun tentunya
tidak lepas dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindak lanjuti.Jika baik,
maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka
harus bisa diperbaiki.Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat
memungkinkan adanya evaluasi terhadap kebijakan pendidikan tersebut secara
mudah dan efektif.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya
merupakan sebuah system juga, oleh karena itu harus memiliki sistematika yang
jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur. Sistematika itupun dituntut
memiliki efektifitas, efisiensi dan substansibilitas yang tinggi agar kebijakan
pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya
akibat serangkaian faktor yang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal
ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak
menimbulkan kecacatan hokum secara internal.Kemudian secara eksternalpun
kebijakan pendidikan harus sepadu dengan kebijakan lainnya, seperti kebijakan
politik, kebijakan moneter, bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau di
sampingnya dan dibawahnya.
C.
Pengertian Negara Berkembang
Negara berkembang adalah
sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang
relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan
dengan norma global. Istilah ini mulai menyingkirkan Dunia Ketiga, sebuah
istilah yang digunakan pada masa perang dingin. Keberhasilan pembangunan di
suatu negara dapat dijadikan acuan untuk menentukan suatu negara dikatakanmaju
atau berkembang.Negara yang sudah berhasil dalam pembangunan sering disebut
dengan negara maju, sedangkan negara yang masih sedang giat-giatnya
melaksanakan pembangunan disebut dengan negara berkembang.Perkembangan mencakup
perkembangan sebuah infrastruktur modern (baik secara fisik maupun
institusional) dan sebuah pergerakan dari sektor bernilai tambah rendah seperti
agrikultur dan pengambilan sumber daya alam.Negara maju biasanya memiliki
sistem ekonomi berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan
menahan-sendiri.Penerapan istilah 'negara berkembang' ke seluruh negara yang
kurang berkembang dianggap tidak tepat bila kasus negara tersebut adalah sebuah
negara miskin, yaitu Negara yang tidak mengalami pertumbuhan situasi
ekonominya, dan juga telah mengalami periode penurunan ekonomi yang
berkelanjutan.
D.
Kebijakan Pendidikan di
Negara-Negara Berkembang
Kebijakan pendidikan di negara-negara berkembang umumnya
berasal dari warisan kebijakan pendidikan kaum kolonial. Dikatakan demikian,
oleh karena negara-negara berkembang pada saat baru pertama kali merdeka belum
sempat membangun kebijakan pendidikannya sendiri berdasarkan kebutuhan
realistik rakyatnya. Kemerdekaan yang telah dicapai di bidang politik tidak
dengan sendirinya diikuti oleh kemerdekaan di bidang lainnya, lebih-lebih
dibidang pendidikan.
Achmad Icksan (1985)
mengidentifikasi ciri-ciri kebijakan pendidikan yang merupakan warisan kaum
kolonial. Pertama, sifatnya yang elastis, atau lebih banyak memberikan
kesempatan kepada sekecil masyarakat dan tidak lebih banyak memberikan
kesempatan kepada sebagian besar masyarakat. Realitas demikian tampak mula-mula
pada awal-awal kemerdekaan terutama dalam hal kesempatan mendapatkan layanan
pendidikan, meskipun pengejawantahannya akhirnya lebih bersentuhan dengan
persoalan mutu pendidikan. Tampak sekali, bahwa layanan pendidikan yang
bermutu, tetap dinikmati oleh kalangan terbatas, sementara kalangan kebanyakan
sekedar mendapatkan layanan pendidikan yang dari segi kualitas sangat
memprihatinkan. Keluhan mengenai mutu pendidikan yang akhir-akhir ini pernah
mencuat ke permukaan, agaknya dapat dilihat dari sudut pandang ini.
Kedua, berorientasi sosio-ekonomik.
Orientasi sosio-ekonomik demikian, berkaitan erat dengan jaringan ekonomi
internasional di mana negara-negara maju berposisi sebagai sentranya sementara
negara-negara berkembang sekedar sebagai periferalnya. Dalam kedudukan sebagai
periferalnya, negara berkembang umumnya secara ekonomik masih tinggi tingkat
dependensinya terhadap negara maju. Bantuan-bantuan yang diberikan dalam bentuk
pinjaman bagi pelaksaan pendidikan di negara-negara berkembang, umumnya justru
memperkukuh dependensi tersebut. Jika secara ekonomik hal demikian masih
bergantung dan belum mandiri, maka dalam hal strategi pencapaian tujuan
pendidikannya pun juga masih tetap bergantung. Tidak jarang,
pembaruan-pembaruan dibidang pendidikan, umumnya dimulai dari negara maju, dan
begitu dinegara maju sudah ditinggalkan, baru mulai dan digalakkan
dinegara-negara berkembang. Negara-negara berkembang seolah-olah
terombang-ambing oleh pasang surutnya, naik turunnya dan jaya hancurnya
konsep-konsep mengenai pendidikan dinegara-negara maju.
Ketiga, liberal, rasional, individual,
achievemant oriented dan Sosial alienated. Ciri-ciri pendidikan demikian,
umumnya berbeda dan bahkan berlawanan dengan ciri-ciri masyarakat dan
nilai-nilai yang berkembang dinegara-negara berkembang. Pendidikannya liberal,
padahal masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai kolektivisme, pendidikannya
menanamkan rasionalitas, padahal masyarakat negara-negara berkembang banyak
juga mempunyai budaya-budaya yang tidak saja mengembangkan rasionalitas
melainkan segi-segi emosional dan batiniah, pendidikannya individual padahal
masyarakatnya menjunjung tinggi kesetiakawanan sosial dan gotong royong,
pendidikannya achievement oriented secara sempit sekadar prestasi akademik di
kelas.
Keempat, tidak berakar pada tradisi dan budaya setempat.
Hal demikian sangat memprihatinkan, oleh karena pendidikan pada dasarnya adalah
pewarisan budaya dari generasi sebelumnya kepada generasi sesudahnya atau
penerusnya. Oleh karena tidak berakar pada tradisi dan budaya setempat, maka
para siswanya bisa mengalami keterasingan budaya.
Kelima, berorientasi pada masyarakat kota. Ini juga
sangat memprihatinkan mengingat sebagian besar wilayah negara-negara berkembang
justru terdiri dari pedesaan. Orientasi ke kota demikian, lambat atau cepat,
langsung maupun tidak langsung, bisa menjadikan penyebab lulusan-lulusan
pendidikan lebih tertarik dengan kehidupan kota ketimbang bangga membangun
desanya. Tingginya angka perpindahan penduduk ke kota-kota besar, yang langsung
menimbulkan efek-efek samping sosial, agaknya juga dapat dilihat dari sudut
pandang ini.
Haruslah disadari oleh negara berkembang sendiri, bahwa
mengekspor sistem pendidikan yang dilakukan oleh negara maju, tentu tak semata
secara murni ingin membebaskan negara berkembang dari keterbelakangan,
melainkan ada misi lain, misal didapatkannya nilai tambah mengenai beberapa hal
untuk negara maju sendiri. Persyaratan-persyaratan yang dikenakan negara-negara
maju atas negara-negara berkembang atas bantuan-bantuan pendidikannya,
seringkali menempatkan negara berkembang pada posisi tak untung, sementara
negara maju sendiri masih tetap berada diatas angin. Karena itu pembangunan
sistem pendidikanyang didasarkan atas budaya, kemampuan, kebutuhan objektif
negara berkembang sendiri adalah suatu kebutuhan mendesak yang akan memberikan
kejayaan kepada negara berkembang sendiri di masa depan.
E. Masalah Umum Pendidikan di
Negara Berkembang
Menurut
Kadir dan Umar (1982) Beberapa masalah dan kesulitan dalam uraian pokok secara
garis besar adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya
guru yang berkualitas. Beberapa Negara terbelakang sangat sedikit orang-orang
yang memiliki pendidikan cukise social up menjadi guru yang kompeten, karena
mereka menempati jabatan-jabatan diluar bidang pengajaran dengan gaji dan
prestise social yang tinggi.Sejak negara-negara terbelakang melakukan ekspansi
pendidikan, maka harus berusaha mendapatkan guru-guru dari Negara maju.
Walaupun hal itu bertentangan dengan watak nasionalistis,namun tampaknya itu
merupakan satu-satunya jalan keluar.
2. Kegagalan
sekolah dalam memelihara siswa sebenarnya sekolah-sekolah dasar kurang efektif
dalam menunjang gerak pembangunan, jika impaknya tidak tebukti dalam periode
waktu yang pantas. Cita-cita sekolah pada mulanya sukar meresap dan beberapa
factor kerja menghalanginya.Anak mungkin merupakan suat keuntungan ekonomi bagi
orang tua, dan sekolah. Rupa-rupanya dianggap sebagai suatu ancaman terhadap
kenyataan keuntungan ini:natau orang tua kuatis, bahwa ilmu pengetahuan dan
ide-ide baru itu bias mengasingkan anak dari kebiasaan-kebiasaan tradisional
keluarga. Agar efektif sekolah-sekolah itu dihadiri secara teratur dan
bersemangat, sekolah itu harus menjadi tempat yang menyenangkan dan
menguntungkan hal ini merupakan suatu kondisi yang tidak biasa ditemui dinegara
miskin.
3. Keadaan
kurikulum yang tidak sesuai permasalahn dasar kurikulum pada jenjang
pra-universitas meliputi sekitar perluasan penyesuaian budaya,
pendaherahan(loklisasi), dan penjuruhan (vokasionalisasi) kurikulum.
4. Ketimpangan
kemajuan desa dan kota. Didunia terbelakang terapat jurang perbedaan yang
lebar, yaitu kesenangan, kekayaan, kegembiraan, dan tebaran kelayakan terdapat
di beberapa puasat kota dan didesa atau tribal areas keterbelakangan meluas.
Perbedaan yang kontras antara gedung-gedung modern, jalan-jalan raya,
transportasi dan aktivitas budaya disebagian kota besar dan desa itu mengundang
gaya tarik wisatawan yang mengunjungi Negara yang kurang maju itu.
Menurut
Tilaar (2002) Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan
di dunia
berkembang secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang
memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan
dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik
(dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan
keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan
formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya
manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut,
yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan
dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang
menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang
mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil
pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh
orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang
yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi
IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika
dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan
bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan
sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya
efektifitas pendidikan di Negara berkembang.
2. Efisiensi Pengajaran Di Negara
Berkembang
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari
suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan
jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik
tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika
kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya,
hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran adalah mahalnya
biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar
dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan. Yang
juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia yang lebih baik.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak
hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan
formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang
properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang
ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang
diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative
tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang
optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan
efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas
keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan.
Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga
sudah diterapkan terhadap keluaran.
3. Standardisasi Pendidikan
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah
melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.Seperti yang kita
lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun
informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas
pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian
pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan
kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan juga tentu tidah hanya sebatas yang kami
bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita.
Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar
permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita
dapat memperbaiki mutu pendidikan sehingga jadi kebih baik lagi.
4. Rendahnya
Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan
perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media
belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
5. Rendahnya
Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat.Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan
dinyatakan tidak layak mengajar.Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya
faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik
sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar
memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung
jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih
rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
5. Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai
peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
6. Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik,
kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi
tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa
Indonesia di dunia internasional sangat rendah.
7. Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada
tingkat Sekolah Dasar. Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat
terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat
pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
8.Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya
kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik
memasuki dunia kerja.
9. Mahalnya
Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul
untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak
(TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki
pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas
dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS
di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan
organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih
luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu
berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan
anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah,
dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebijakan adalah
suatu proses yang
sangat panjang dankepentinganyang beragam. Di dalamnya terdapat
ketetapan-ketetapan yang memuatprinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara
bertindak yang dibuat secaraterencana dan konsisten dalam mencapai tujuan
tertentu.Sedangkan kebijakan pendidikan menurut Carter V Good adalah suatupertimbangan yang didasarkan atas system
nilai dan beberapa penilaian atasfaktor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut
dijadikan sebagaidasar untuk mengopersikan pendidikanyang bersifat melembaga.
Pertimbangantersebut merupakan perencanaan yang dijadikansebagai pedoman untuk
mengambilkeputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai.
Pengertian negara berkembang adalah
sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang
relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan
dengan norma global. Istilah ini mulai menyingkirkan Dunia Ketiga, sebuah
istilah yang digunakan pada masa perang dingin.Kebijakan
pendidikan di negara-negara berkembang umumnya berasal dari warisan kebijakan
pendidikan kaum kolonial. Dikatakan demikian, oleh karena negara-negara
berkembang pada saat baru pertama kali merdeka belum sempat membangun kebijakan
pendidikannya sendiri berdasarkan kebutuhan realistik rakyatnya. Kemerdekaan
yang telah dicapai di bidang politik tidak dengan sendirinya diikuti oleh
kemerdekaan di bidang lainnya, lebih-lebih dibidang pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA